Selasa, 04 Februari 2020

Menikmati Halaman Rumah, Apa Adanya

Siang tadi saya duduk saja di depan ruangan tamu. Tidak ada kegiatan khusus
yang saya buat, tidak mengerjakan apa  pun, juga tidak bermain hp. Saya betul-betul
duduk dengan diam dan memandang keluar jendela. Siang tadi memang sangat panas,
akhir-akhir ini memang suhu udaranya begitu. Tempat paling adem adalah ruangan tamu.

Tiba-tiba saya melihat tiga ekor kupu-kupu dengan warna yang berbeda, terbang
bermain-main dengan rendah di halaman rumah. Jendela ruang tamu memang langsung
menghadap ke arah halaman rumah kami yang sempit, sehingga segala aktivitas dapat
dengan mudah saya amati. Apalagi jika duduk sangat dekat dengan jendela.

Saya mengamati kupu-kupu yang terbang dengan tanpa suara, maksudnya saya
yang tanpa suara. Awalnya mereka bertiga terbang dengan kompak, semacam
membentuk lingkaran atau itulah gaya terbang saling mengejarnya mereka. Saya
memerhati dengan sakasama sampai ada seekor kupu-kupu menghampiri jendela dan
berdiam di situ.

Saya masih menikmatinya dengan baik ditambah siang yang tenang tanpa suara,
hanya deru suara kendaraan yang ada di jalanan. Jarak antara jalan raya dengan halaman
rumah cukup jauh, sehingga aktivitas kupu-kupu yang sedang saya amati tidak terganggu.
Namun pastilah jika mereka akan terganggu lantas terbang kembali jika saya batuk atau
sekedar berdehem. Untungnya saya tidak sedang batuk dan sedang tak ingin usil
berdehem. Saya membiarkan kupu-kupu itu.

Saat seekor kupu-kupu sedang menepi di jendela, dua ekor kupu-kupu sedang
terbang mengitari bunga-bunga yang bermekaran di halaman. Ada beberapa warna bunga
yang sedang mekar yang memang sungguh sangat menarik perhatian kupu-kupu. Entah
dari jarak berapa pun, jika mereka melihat warna bunga pastilah mereka akan
menghampiri. Sejak tadi, saya tidak tahu kupu-kupu itu datang dari arah mana.

Saya mengamati tiga ekor kupu-kupu itu dengan gemas tapi tak ingin usil. Saya
membayangkan, mereka adalah keluarga kecil kupu-kupu. Entah bagaimana mereka
saling menyapa. Manusia tetap menyebut mereka kupu-kupu. Karena saya berpikir kalau
mereka adalah keluarga kupu-kupu jadinya yang sedang bertengger di pinggir jendela
adalah ayah dan yang sedang mengitari bunga dan mengisap madu bunga adalah ibu dan
anak. yah, yang siang ini  bertamu di halaman rumah adalah keluarga kecil kupu-kupu.

Si ayah kupu-kupu menjaga dari kejauhan, tanpa mendikte ibu dan anak kupu-
kupu. Ia menjaga dari jauh hanya ingin memastikan bahwa dari jarak itu ia bisa lebih
leluasa mengamati sekeliling; seperti berjaga-jaga jangan sampa ada manusia yang
datang ke arah mereka. Si ayah kupu-kupu menunggu saja, mungkin ia juga mengawaso
saya. Jika saya membuat keributan atau bertingkah yang menarik perhatian sekaligus
menjadi ancaman bagi mereka maka ia akan memberi komando dengan segera ke istri dn
anaknya untuk terbang menjauh. Saya membayangkan demikian. Membiarkan mereka
dengan tanpa mengusiknya, biarkan saja mereka mengisap habis madu yang ada di
bunga. Toh, begitulah sesama makhluk hidup di dunia.

Keceriaan keluarga kecil itu membawa saya ke masa kecil. Di halaman yang sama
ini, pernah ada kami. Pernah kami habiskan semua masa kecil kami di situ. Sampai saya
harus bertanya banyak ke diri. Bermain memang sungguh menyenangkan. Yah,
kenikmatan masa kecil itu datang lagi. Sensasinya masih sama seperti saat saya melihat
kupu-kupu. Saat masih kecil juga saya sangat suka melihat kupu-kupu. Saya begitu takjub
sama hewan yang bisa terbang. Sampai kesenangan, hobi atau kesukaan saya melihat
pesawat terbang telah dimulai sejak kecil saat saya mengamati hewan-hewan kecil yang
terbang. Saat ini saya mengandaikan, ada juga hewan besar yang terbang misalnya
kerbau, maka habislah semua rumah ditabraki sampai porak-poranda.

Di pojok lain dalam kisah masa kecil saya, saya melihat ada kebun sayur yang 
kecil. Kebun itu dipagari oleh kayu-kayu. Di dalam kebun kecil itu ditumbuhi beraneka 
macam sayur, tetap didominasi oleh buncis. Buncis menjadi sayur kesukaan saya. Saya 
menyukai bunga-bunga kecil berwarna putih yang mendakan buncis sedang memulai 
usianya. Seringkali saya melihat ada kupu-kupu yang menghampiri namun tak lama. 
Mungkin madunya kurang, atau entahlah bagaimana bangsa kupu-kupu memikirkan itu. 

Di kebun itu, pada pojok yang rimbun sering dipakai anak-anak untuk bermain 
sembunyi. Semacam ada bagian terkcil yang dibiarkan menjadi pintu untuk kaki-kaki kecil 
kami. Seringkali kami diingatkan untuk tidak menginjak sayur atau tumbuhan lain yang ada 
di dalam kebun. Kebun yang sama juga yang sering kami pakai untuk menangkap capung. 
Kamu tahu capung? Masa kecil saya begitu bahagia dan merasa menang jika bisa 
menangkap satu bahkan lebih capung. Saat kecil kami menyebutnya “tembong”. Capung 
suka terbang rendah dan hinggap di dahan-dahan, daun, pagar, batu atau apa pun yang 
bisa ia hinggapi. Kami sering menangkapnya. Berjalan dengan perlahan ke arah capung 
sambil jemari jempul dan telunjuk tangan kanan bersiap menjepit ekor capung. Rupanya 
capung begitu peka dengan getaran yang ada disekitarnya. Sampai suara nafas kami saja 
dapat membuatnya terbang menjauh. Memang si capung snagat suka bermain-main 
dengan kami, ia terbang dan hinggap lagi di sebelah kami lalu saat kami ingin 
menangkapnya maka ia akan kembai terbang menjauh untuk datang kembali. Mungkin 
begitulah capung diciptakan untuk menjaga dirinya sendiri. 

Dulu sangat banyak capung yang mampir di halaman rumah, biasnaya sejak pagi 
sampai sore saya di masa kecil akan berusaha menangkapnya. Saat ini saya berpikir 
untuk apa saya menangkap capung selain karena ingin merasa menang? Saat ditanyai ke 
diri memang ini sangat sulit untuk saya temukan jawabannya. Dulu juga saya menangkap 
capung lalu merobek sayapnya dan membiarkan ia terbang. Beberapa jam kemudian saya 
menemukannya tergeletak di tanah bahkan di air. Saya tidak tahu butuh berapa lama bagi 
si capung untuk menenun sayapnya. saya juga tidak tahu, andai saja ia sedang ditunggui 
di tempat tinggalnya dengan penuh harap. Misalnya berharap mendapat cerita dari si 
capung yang sayapnya telah saya robeki, harapan teman dan keluarga si capung sia-sia. 
Si capung tidak pulang ke rumah karena ia tak lagi bisa terbang dan telah mati. Mungkin 
jika saat kecil saya berpikir demikian, maka tidak ada satu hewan pun yang akan mati di 
tangan saya. 

Kian lama diperhatikan dan diingat kembali, halaman rumah ini adalah rumah bagi 
segala makhluk yang melahirkan banyak kenangan indah. Kenangan yang ini tidak 
tumbuh namun berbunga. Bunga yang indah seperti bunga indah yang bermekaran. 
Namun, kupu-kupu dan campung yang menghampiri halaman rumah tak sebanyak dulu. 
Mungkin saja populasinya telah berkurang karena kelakuan kami di masa kecil atau 
karena kami yang tak lagi memiliki kebun sayur di depan rumah? 

Cici Ndiwa. 4 Februari 2020. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setahun Berdua

                                                  " Selamat merayakan setahun berdua dalam relasi pacaran ini, *ian dan Cici.      Tida...