Rabu, 29 Januari 2020

Membicarakan Cita - Cita


Dalam kerja sama antara Taman Baca Colol dan Sunrise Camp Indonesia (SCI),
saya berkesempatan menjadi volunteer (kegiatan yang telah berlangsung dan akan
berlangsung). Saat menuliskan ini di sini, saya telah dua kali menghadiri kegiatan (sebagai
volunteer) di kelas Inspirasi yang bertempat di Colol, Manggarai Timur.

Awal tergabung menjadi volunteer ini sebenarnya karena ketertarikan saya dengan
literasi dan melayani sesama. Mungkin yang kedua ini terlalu mulia atau bahkan terdengar
sangat lebay, tapi begitulah yang ada dipikiran saat saya mengapply untuk menjadi
volunteer. Mungkin jalan untuk menjadi guru Agama Katolik belum dibukakan untuk saya,
tapi melayani sesama dengan tulus adalah bagian dari ajaran Agama Katolik. Yah,
setidaknya aura-aura katekis saya masih terjaga dan terus diperbaharui lha dari hari-hari
dengan melayani sesama.

Saya melayani anak-anak yang ada dalam lingkungan Taman Baca Colol, tentu
saja karena keinginan saya diterima oleh teman-teman dari Sunrise Camp Indonesia.
jadilah kami bertemu pada awal bulan Januari di hari Minggu.

Semua volunteer dipertemukan hari itu, pihak SCI menjelaskan garis besar project
tiap bulannya dan pembagian jadwal untuk ke Taman Baca di tiap hari Sabtu dan Minggu.
Sungguh kesempatan yang bagus kan? Bisa weekend sambil melayani anak-anak di Colol
dengan tujuan utama menebar aroma dan aura literasi kepada setiap insan. Garis besar
untuk kunjungan di bulan Januari yakni kelas inspirasi. Yang bagaimana kelas inspirasi
itu?

Kami saling berkenalan dengan sesama volunteer dan pihak SCI, sebelum kami
membawakan kelas inspirasi ke adik-adik kami teleh terlebih dahulu merasa terinspirasi
oleh niat-niat baik sesama volunteer yang datang dari berbagai disiplin ilmu dan pekerjaan.
Tentu saja sesama kami saling diperkaya. Sungguh percaya bahwa kita akan
dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki visi yang sama dengan kita.

Dalam proyek ini, saya berkesempatan untuk banyak berinteraksi dengan para
remaja SD kelas 6 dan SMP. Saya menyebutnya adik-adik, begitu juga saat menyapa dan
berkenalan dengan mereka. Dalam kelompok ada 20an anak, lebih banyak perempuan
ketimbang pria. Semoga pada pertemuan berikutnya, akan ada lagi adik laki-laki yang
bergabung.

Saat ada di dalam kelompok, pada pertemuan pertama kami membicarakan cita-
cita. Berbicara dengan memberi umpan balik menjadikan kelas penuh semangat dan tetap
saling mendengarkan dengan sepenuh hati. Saya menyukai ekspresi mereka saat
menyaksikan saya berbicara. Ingin rasanya bicara tanpa henti, namun sadar bahwa
mereka lha yang sedang saya latih. Kami sepakat untuk saling bercerita: mengenalkan
nama, sekolah dan bercerita tentang cita-cita masing-masing kami. Saya juga cerita
tentang cita-cita sederhana saya, (janji untuk bagian ini akan saya jadikan tema tulisan
yang lain)

Ternyata tak terlalu susah merebut perhatian adik-adik, tapi cukup bekerja keras
juga untuk memikirkan kalimat yang harus mereka dengar sehingga bisa diolah pikiran
mereka. Mereka perlu disemangati dan diberi penghargaan untuk segala sesuatu walau
sederhana. Seperti: kami akan saling mendengarkan saat yang lain berbicara di dalam
kelompok, memberi tepuk tangan dan sebagai pemandu saya mengingat dengan baik
nama mereka dan cita-cita yang mereka sebutkan. Saya merangkai segalanya dalam
bentuk cerita siang itu. Saya mengandaikan bahwa sepuluh atau lima belas tahun lagi
saya akan kembali ke Colol lalu melihat mereka telah meraih cita-cita yang telah mereka
sebutkan.

Saat membicarakan cita-cita kepada remaja di Manggarai Raya, Colol khususnya
tidak mengherankan kalau banyak cita-cita yang seragam. Setelah kegiatan berlangsung,
memang kami saling sharing dengan sesama volunteer. Memang tidak mengherankan,
cita-cita mereka antara lain menjadi guru, polisi, polwan, dokter, perawat, bidan, pramugari
dan pemain bulu tangkis. Itulah cita-cita mereka, banyak juga yang masih bingung dengan 
cita-cita mereka. Dari kelompok kecil saya itu, hanya satu yang bercita-cita sesuai hobi, 
misalnya pemain bulu tangkis. 

Setelah mereka selesai menyebutkan cita-cita mereka, saya bertanya tentang 
alasan memilih itu sebagai cita-cita. Tak mengherankan lagi jika jawabannya hampir 
seragam dan sangat umum. Misalnya, ingin menjadi guru karena ingin mengajar para 
murid, ingin menjadi dokter, perawat dan bidan karena ingin merawati yang sakit, ingin 
menjadi pramugari karena ingin jalan-jalan dan ingin menjadi pemain bulu tangkis karena 
suka nonton pemain bulu tangkis di televisi. 

Sebagai seorang yang mengurus kelas inspirasi di hari itu, memang ini menjadi 
tugas yang berat juga bagi saya. Saya memikirkan banyak sekali hal untuk saya utarakan 
ke mereka siang itu. Saya sadar, mereka butuh diarahkan. Namun apalah saya, tapi saya 
berusaha sebisa saya siang itu. Saya bilang semua cita-cita itu keren dan kita pasti bisa 
meraihnya kalau kita semangat belajar. Kita berhak bercita-cita setinggi mungkin. 

Secara pribadi, kenapa saya ingin membicarakan cita-cita? 

Selain karena tuntutan project, saya sangat merasa bahwa memiliki cita-cita 
sangatlah penting. Kita tahu bahwa hidup kita memiliki arah sehingga bisa memotivasi kita 
tiap waktu. Saya mengalami itu sendiri. 

Saya bahkan masih memiliki cita-cita dalam hidup walau telah seperempat abad 
hidup di dunia ini. Saya masih menginginkan untuk mengambil magister di Australia. 
Bahwa hidup tidak cukup hanya satu cita-cita, atau mungkin itu bisa dinamakan 
penjabaran dari cita-cita. 

Saat ada dalam kelas inspirasi itu, kami bergantian bicara tentang cita-cita. Saya 
lebih ke memberi umpan balik dengan membaikan cita-cita saya dan pengalaman saya 
meraihnya. Mereka tertawa saat saya bilang “kaka punya cita-cita untuk naik pesawat ke 
Kupang pakai uang sendiri, setelah dicita-citakan sejak kecil baru saat Mei 2019 cita-cita 
itu terwujud dan kaka masih ingin naik pesawat karena telah lupa bagaimana rasanya naik 
pesawat” Cita-cita itu sungguh betul, saudara-saudara... 

Semesta akan merestui cita-cita yang dinginkan dengan tulus. Saya bilang ke 
mereka juga untuk percaya dengan kemampuan diri. Pokoknya harus beri pesan positif ke 
diri, jangan pesimis harus optimis jalani hidup. Seorang anak-anak bercita-cita memiliki 
nilai 80 saat ulangan Matematika. 

Sebenarnya ada satu hal yang mengganjal dan buat saya tidak enak dengan diri 
sendiri saat berbicara tentang cara meraih cita-cita. Saat pertemuan pertama, saya terlalu 
semangat saat bilang kita harus sekolah dengan rajin dan belajar dengan giat. Saya 
terlambat menyadari bahwa ada seorang gadis yang tidak menempuh pendidikan namun 
sangat bersemangat mengikuti kelas saya. Saya akan menuliskannya di lain sesi. Saya 
punya tanggung jawab untuk membuatnya percaya dengan kemampuannya, untuk tidak 
membuatnya rendah diri karena tidak seperti temannya yang lain. 

Cita-cita tidak hanya bisa diraih lewat bangku sekolah, cita-cita bisa diraih lewat 
perbuatan-perbuatan baik dalam keseharian. Saya berhutang penjelasan panjang tentang 
ini ke Tika, namanya Tika. Saat kembali ke Ruteng, saya teringat saat Tika menggandeng 
tangan saya ke arah teman-teman yang lain untuk foto bersama. Saya pun belajar dari 
Tika. 

Kembali ke cita-cita yang beragam tadi. Semuanya pasti tahu keistimewaan Colol. 
Yah, kopinya yang terkenal. Sungguh memasuki Colol membuat saya takjub dengan hijau 
sawah, kopi dan jagung. Colol sungguh kaya. Tanah Colol harus dijaga, dijaga oleh semua 
generasi. Termasuk generasi yang ada dalam kelompok saya. 

Saat sharing dengan teman, kami membicarakan tentang sistemi ijon dan nasib 
Manggarai Raya nantinya. Sungguh berat, bukan? Inilah tugas kita yang lahir lebih dulu. 
Tugas kita untuk menanamkan rasa cinta yang sama juga kepada generasi yang lain. 

Saat membicarakan cita-cita, saya tanya ke mereka “kenapa tidak ada yang bercita-
cita menjadi petani?” Jawabannya cukup beragam dan membuat saya tertegun. Kami pun 
sharing tentang pengalaman mereka ada di Colol, seperti hal-hal yang mereka buat tiap 
hari. Lalu saya bilang ke mereka, “kalau tidak ada yang jadi petani, nanti kamu, adik-
adikmu dan anak-anakmu tidak bisa petik dan minum kopi, kamu tidak bisa lagi tangkap 
Ikan dan Katak di sawah. Kamu tidak punya tempat untuk bermain” Sebenarnya lebih dari 
itu yang saya bilang ke mereka. Ini pun menjadi tugas kita semua untuk mengajarkan ke 
generasi baru tentang kecintaan dengan tanah kelahiran. Colol dan Manggarai Raya 
sangat kaya, kita butuh banyak belajar dan saling membantu. 

Sebenarnya tidak mengherankan saat adik-adik mengutarakan cita-citanya yang 
cukup seragam, toh mereka ada di lingkungan yang sama. Saya tidak sedang 
mengdiskreditkan apa pun, saya juga tidak menyalahkan mimpi polos adik-adik kita. 
Mereka bercita-cita berdasarkan hasil pengamatan mereka tiap hari. 

Pada akhirnya ini juga menjadi pengingat bagi saya. Saat berhadapan dengan 
remaja terlebih saat membicarakan cita-cita tugas saya adalah membuka pikiran mereka 
tanpa menakuti dan membanding-bandingkan mereka. 

Ruteng, 29 Januari 2020 
 


Selasa, 28 Januari 2020

Sahabat Saya, Dedi

Sahabat Saya, Dedi
Kami hanya memiliki dua foto bersama.

Akhir Juli 2013, pertama kali bertemu dengan Dedi saat pendaftaran untuk kuliah. Saat itu
kami sama-sama telah selesai mengikuti test gelombang ketiga untuk masuk di Program Studi
Pendidikan Teologi saat itu masih Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Santu Paulus
Ruteng dan kini telah menjadi Universitas katolik Indonesia (UNIKA)  Santu Paulus Ruteng.

Saat itu kami akan melakukan pendaftaran ulang, Dedi duduk di depan pintu ruangan ketua
sekolah dan saya sedang duduk di bangku sebelahnya. Hari itu kami tidak saling bicara, karena
kami adalah orang asing yang memiliki niat yang sama untuk kuliah Teologi. Saya ingat, Dedi
memakai baju kemeja kotak-kotak berwarna biru ditambah abu-abu. Baju yang kemudian menjadi
andalan dia saat kami telah aktif berkuliah, juga ia memakai sneakers berwarna abu-abu yang
kemudian sepatu yang sama menemani langkah kami di kampus. Pernah juga ia pinjami ke saya
saat sepatu saya rusak. Sangat berharga kan dalam hidup saya? Malam ini saya menulis tentang
kita, walau tidak mewakili semuanya. 

Tidak ingin menulis yang sedih-sedih. Terlalu banyak hal indah dengan penuh perjuangan
sampai hari ini. Kami memulai dengan menjadi orang asing sampai menjadi sahabat baik dengan
beberapa impian yang sama dan saling memotivasi.

Mengawali kuliah, kami harus melalui masa orientasi di kampus. Kami dikelompokkan per
program studi. Kami berjumlah sedikit saja jika dibandingkan dengan mahasiswa/i di program studi
yang lain. Namun kami selalu diutamakan dalam hal apapun, selain jumlah kami yang sedikit
program studi kami juga merupakan program studi yang tertua.

Dengan jumlah mahasiswa yang sedikit, kami pun dapat saling mengenal dan mengingat
nama dengan sangat cepat. Saat hari kedua di masa orientasi tersebut, tak ada lagi panggilan
“enu” “nana” atau “kaka” saja, kami telah mulai dengan saling menyebut nama. Sesuatu yang
membuat kami bisa akrab dan merasa dihargai. Dari situlah saya belajar, untuk membuat seorang
kawan baru bahagia cukup panggil dia dengan namanya. Hal itulah yang jarang saya dengar dari
kelompok lain yang memiliki jumlah mahasiswa/i yang banyak.

Hal yang paling saya ingat di masa oerientasi itu adalah saat Dedi minta ijin ke panitia
untuk pulang lebih cepat karena sepatunya rusak. Ekspresi wajahnya yang sedih diiringi dengan
pandangan matanya ke arah sepatu yang sedang tertawa dengen lebar dan kami yang juga ikutan
tertawa. Selama delapan semester perkuliahan, itu menjadi lelucon kami di ruangan perkuliahan.

Singkat cerita, ia memanggil saya TA. TA itu akronim dari teman akrab. Lalu saat
memasuki tahun ini, saya ingat lagi kalau sejak 2013 sampai tahun ini saya hanya punya satu
sahabat laki-laki yang sudah seperti saudara sendiri bagi saya. Yah, saudara tidak seharus
sedarah. Tapi sama-sama  menjaga dan menghargai tiap relasi.

Tentang relasi-relasi kami. 

Walau kami kemana-mana selalu sama-sama sebagai sahabat, kami tidak membatasi
relasi-relasi yang lain dengan orang lain. Dedi mempunyai lingkungan pergaulan yang lain, begitu
juga saya. Pernah sisi egois saya muncul, saya minta untuk selalu ditemani kemana-mana saat
kuliah. Pokoknya harus sama dia, kalau bukan berdua yang dengan teman yang lain dan tetap dia
harus ikut. Setelah lama berselang, saya menyadari bahwa itu tidak baik untuk relasi pertemanan
kami. Bahwa sebagai teman, waktu saya tidak hanya dihabiskan untuk dia, begitu juga waktunya
dia tidak hanya dihabiskan untuk saya. Entah dalam urusan kuliah atau urusan lain.

Tiap kali seseorang di antara kami menjalin relasi dengan lawan jenis, kami akan saling
tahu untuk menempatkan diri dan saling menafsirkan akan berapa lama relasi itu berlangsung. Di
bagian ini kami sama-sama garing. Relasi kami semacam rumah, kalau relasi dengan yang lain
bermasalah kami akan pulang ke rumah dan membahas hal-hal yang lucu sambil saling
mengingatkan “tenang saja, kita ni masih kuliah” dan itu sungguh ampuh selama kuliah. Sering
juga saling mengingatkan tentang kerja kerasnya orang tua untuk kuliahkan kami sehingga kami
sama sama berencana untuk tepat waktu dalam kuliah.

Parfum yang namanya saya lupa, tapi wanginya saya kenang

Kami pernah memiliki parfum andalan, hanya sehari saja kami pakai langsung menjadi
bahan pembicaraan kaka tingkat. Mau tahu kenapa? Saat itu siang yang terik dan kami sedang
kuliah bersama kaka kelas dan teman seangkatan. Kondisi kelas sangat penuh, saya dan Dedi
memilih duduk di bagian belakang dekat jendela. Saat pertengahan kuliah, saya mengeluarkan 
parfum dari tas dan menunjukannya ke arah Dedi sambil tertawa (kami belajar mengerti kontak 
mata), kami  menyemprotkan parfum itu secara bergantian. Sontak saja semua berbalik ke arah 
kami, aroma parfum tersebar ke segala penjuru ruangan kuliah. Hampir saja kami kena usir dari 
ruangan perkuliahan jika saja kami tidak bisa menjelaskan semua yang telah dijelaskan oleh dosen 
secara terperinci. 

Saat awal tahun ini dan si sahabat saya itu ke rumah, wangi parfum kami sama. Ini tentu 
saja membuat kami saling rindu dengan kekonyolan selama kuliah. Bahwa kami tidak berubah, 
kami hanya memiliki peran masing-masing dalam menjalani hidup. Walau kami tidak berubah, 
kami bukanlah orang yang sama. Sebagai laki-laki dan perempuan, kepribadian kami tidaklah 
sama. Namun kami bersyukur bisa berteman, bisa lebih belajar untuk menghayati relasi yang ada 
dalam hidup. Sekecil dan selama apapun relasi itu.
 
Kue Kacang antara dua kantin 

Sebagai seorang yang sangat sering terlambat bangun pagi saat kuliah, karena baru bisa 
tertidur  saat ayam mulai berokok, seringkali saya melewati sarapan pagi di rumah. Sehingga saya 
sangat cepat merasa. Seringkali minta ijin untuk ke luar dan ke kantin secepat mungkin, sering 
juga menunggu sampai jam selesai perkuliahan. Bayangkan saja jika kuliahnya 3 SKS. 

Dedi selalu menjadi teman yang bisa diajak bergerak cepat untuk mengobati kelaparan. 
Jika bapak dan ibu dosen membaca ini, kami sungguh memohon maaf. Walau punya banyak 
alasan untuk keluar dari ruangan perkuliahan demi ke kantin sama-sama, kami masih tetap 
menjadi yang rajin di kelas. Yah, logika butuh logistik. Dulu kami suka membenar-benarkan hal-hal 
yang kami buat, terkadang juga hanya sampai mencari benang merah. 

Yah, tentang benang merah ini saya dengan sahabat saya sama-sama menyukai kue 
kacang dan teh manis. Ada dua kantin di dekat kampus yang menjual kue kacang. Dedi menyukai 
kue kacang yang berbentuk pipih dan saya menyukai kue kacang yang berbentuk bulat. Jadi tiap 
hendak makan kue kacang, kami lebih dahulu ke kantin yanng menjual kue kacang berbentuk pipih 
lalu duduk menghabiskan kue kacang di kantin yang menjual kue kacang berbentuk bulat ditemani 
teh hangat. Teh manis hangat adalah minuman penyatu kami saat kuliah karena harganya yang 
lumayan murah dengan gelas yang besar. Terkadang minta air putih hangat karena gratis. Pernah 
seperti itu dan diiringin muka jutek si pelayan.  

Perpustakaan: lantai satu atau dua? 

Tiap kali ada tugas, kami seringkali menyelesaikannya di perpustakaan kampus. Buku-
bukunya sangat memadai untuk program studi kami. Segala tugas selalu memiliki beberapa buku 
referensi, sehingga kami merasa sangat diperkaya. Baik dalam tugas kelompok maupun tugas 
individu. Selesai mengerjakan tugas perkuliahan, seringkali saya mengunjungi lantai dua untuk 
mebcari buku fiksi dan membacanya di lantai dua.
 
Si sahabat saya sangat suka membaca koran yang ada di lantai satu. Tiap ada hal-hal 
baru, kami sangat suka membicaraka itu. Kadang mendiskusikannya dan lebih sering memuji si 
penulis sambil berkhayal kami bisa seperti itu. Pernah tulisan saya muncul di koran, kami sama-
sama bahagia karena tulisan itu bisa kami berikan di pihak kampus dan mendapat penghargaan 
berupa sedikit uang. Kami bisa jajan beberapa kali, makan makananan yang kami suka dan saling 
semangati untuk selalu semangat menulis. 

Di perpustakaan kampus saya pernah bilang ke dia “saya mau belajar menulis dan punya 
buku yang isinya puisi”, sahabat saya mengangguk tanda setuju. Sampai saat tahun di mana ia 
dengar saya launching buku puisi Penyair bukan Kami dan ia percaya saya sangat bisa untuk 
impian yang lain. Kami saling mendoakan untuk impian dan cita-cita hidup. 

Masa skripsi sampai duduk berdampingan saat wisuda 

Sebagai sahabat yang masuk kuliah di tahun yang sama tanpa menunggak mata kuliah, 
kami ada di tahun yang sama saat mengerjakan skripsi. Sahabat saya menulis tentang Budaya 
Manggarai dan saya pun menulis tentang Kitab Ayub, itu juga setelah melalui pergumulan yang 
panjang. Sampai saat ini, ia sedang menekuni tulisan dan akan melakukan penelitian tentang 
budaya. (Saya tetap doakan, tem) 

Kami pernah sama-sama kehabisan akal namun tidak putus asa saat ada di masa-masa 
bimbingan tugas akhir. Tulisan kami berdua sama-sama ditolak dengan banyak perbaikan, kami 
merasa telah menyelesaikannya dengan sangat baik.  Kami mengolahnya dari berbagai bahan 
bacaan dan melakukan penelitian. Tetap saja kami mahasiswa/i bukan dosen. Kami saling 
mengeluh di kantin Aloysius. 

Saya rasa, semua teman juga merasakan hal yang sama. Ada saat excited dan ada 
kalanya jenuh. Ada saat tidak ingin diganggu, memutuskan semua jenis komunikasi sampai tiba-
tiba muncul sambil tersenyum  lebar dari ruangan dosen saat dijijnkan untuk ujian. Kami sama-
sama pernah ada di saat itu. 

Saat teman-teman kami telah mendaftar ujian dan ada juga yang ujian, kami sedang 
mengalami  masa kritis karena penolakan berkali-kali. Saya dan sahabat sempat tidak saling 
menghubungi demi fokus menulis, tiap mengalami kejenuhan kami bertemu di kantin yang sama 
atau telepon hanya untuk memotivasi. 

Saat itu, kami habis akal namun tidak putus asa. Saling menguatkan dengan menyebut 
perjuangan orang tua memang sungguh menjadi vitamin yang menyemangati kami. Kami ujian di 
minggu yang sama, pada gelombang terakhir ujian. 

Kami saling menunggu di depan ruangan ujian 
lalu metayakannya dengan memakan buah salak. Dia tahu saya menyukai buah salak. 

Kami telah memiliki gelar masing-maisng di belakang nama dengan jalan maha panjang tak 
bertepi di depan. Bahwa kami memulai perjalanan kami. 

Kami duduk berdampingan saat wisuda. Sebelum wisuda, ia menemani saat saya akan test 
kebaya untuk saya pakai di hari kami wisuda. Sesuatu yang sangat sederhana dan itu saling 
berharga dalam hari-hari kami. 

**** 
Ini tahun kedua Dedi menjadi tenaga pengajar di Maumere. Ia mulai betah, tetap 
menghayati ilmu pengetahuan. Tetap menjadi sahabat yang saling memotivasi. 

Tulisan tentang kami mungkin akan mencapai titik, tapi tidak dengan persahabatan ini. 

Masih sangat banyak kenangan dan saya susah merangkainya menjadi tulisan. Mungkin betul, 
kata selalu terbatas. Semoga di sana Dedi tetap sehat dan baik-baik saja, diberikan jalan untuk 
penelitian tentang budaya Manggarai dan untuk apa saja yang diimpikan 

Di sini, saya sangat sehat. Sedang mengikuti sebuah project menulis dan sangat tidak enak 
jika melewatkan kisah persahabatan kita.

Ruteng, 27 Januari 2019. 


Kenapa Saya Menulis?


Saya sedang mengikuti project menulis 1000 kata perhari bersama teman-teman, ini akan
menjadi hari pertama dan tulisan ini adalah tulisan pertama saya dalam project itu. Saat
mengiyakan untuk mengikuti project itu, saya tidak kepikiran tentang bagaimana saya akan
membagi waktu menulis 1000 kata perhari dengan hal lain. Hal yang juga menuntut keseriusan
saya. Namun hal lain yang saya pikirkan tentang project ini yakni bisa melatih diri ini untuk lebih
konsisten dalam menulis, terlebih 1000 kata perhari.
Dalam project ini, kami akan menulis selama 30 hari dengan jumlah 1000 kata per hari.
Kami bisa menulis tentang apa saja dan hal inilah yang paling saya suka, menulis panjang tanpa
dibatasi dengan tema. Sebenarnya saya juga sedang berpikir akan menulis apa hari ini? Jujur saja
di kepala begitu banyak ide dan hal-hal yang ingin saya tulis. Untuk memulai project ini saya ingin
menuliskan tentang “kenapa saya menulis?” Semoga ditulisan berikutnya kita bisa saling berbagi
apa saja dari hal yang paling sederhana sampai hal paling rumit.
Yah, ini tentang hobi yang saya dapat lalu saya tekuni karena saya suka membaca. Saya
teringat, di hadapan setumpuk koran bekas saya bilang ke diri saya “jangan hanya baca tulisan
orang, orang juga harus baca tulisan Cici nanti” dan sungguh ini ampuh, itu semacam mantra yang
saya sebut saat tahun 2009. Namun beberapa tahun sebelumnya, tulisan saya telah muncul di
majalah Kunang-Kunang.
Semacam mantra itu terlintas saja dipikiran saya yang saat itu pesimis dan serba minder
sama pergaulan masa SMP, jujur saja saat itu saya belum tahu hobi yang bisa saya tekuni. Saya
dalam lingkungan pergaulan yang hampir semua teman-teman saya memiliki suara bagus, bisa
melukis, main musik dan bisa berolahraga. Hal itulah yang buat saya minder, karena saya tidak
bisa seperti mereka. Saya meyakini bahwa saya di usia yang itu sedang berusaha menemukan
hobi.
Sejak kapan saya suka membaca? Sejak saya lancar membaca. Pertama kali kelas 3 saya
membaca serial Kitab Suci yang saya pinjam dari teman kelas, saya tertarik sama gambarnya.
Saya ingat, saking suka sama serial Kitab Sci itu saya sampai bilang ke teman akan beli jika ia
jual. Tentu saja, saya bisa mendapatkan itu. Akhirnya buku itu sah jadi milik saya. Saat itu, saya
juga menyukai buku doa-doa harian dan menghafal semua doa-doanya, itu karena menjelang
komuni pertama. Selain itu, saya menyukai serial tentang binatang, buku yang saya dapat sebagai
bonus membeli susu. 
Saat Sekolah Dasar tempat yang paling sering saya kunjungi selain kantin adalah
perpustakaan.  Saya suka membaca buku-buku yang bercerita tentang hewan dan tumbuhan.
Seringkali saya terlambat masuk kelas saat selesai istirahat karena keasyikan membaca buku di
perpustakaan. Beberapa kali saya pura-pura sakit biar bisa masuk ke UKS yang berdampingan
dengan perpustakaan. Saat teman dan guru meninggalkan saya sendirian di UKS, maka masuklah
saya ke perpustakaan dengan bebasnya dan membaca buku-buku kesukaan.
Kelas 5 SD, saya ketagihan dengan majalah Kunang-Kunang. Semua kolomnya saya baca
sampai saya hafal dengan nama penulis tiap-tiap karya.  Ada kolom khusus cerita, puisi dan
gambar. Kebanyakan para penulisnya dari luar Manggarai. Tapi dari situlah saya mulai mengenal
tentang tempat-tempat yang ada di Flores ini. Saat itu, saya bisa menghafal cerita dan
menceritakannya lagi ke Mama dan teman-teman.
Saya juga menyukai majalah Bobo dan Donald Bebek, saya mendapatkannya dari Mama.
Beliau membelinya di pinggiran toko, saat itu di dekat toko Sejati ada yang menjual menggunakan
gerobak. Saya pun ketagihan membaca serial Doraemon dan Shincan dan berlanjut ke bahan
bacaan-bacaan lain sampai saat ini.
Tulisan pertama saya muncul di majalah Kunang-Kunang tahun 2009.
Saya  telah memasuki masa SMP ketika tulisan yang saya tulis di tahun 2006 diterbitkan di
majalah Kunang-Kunang. Sebenarnya saya tidak menyangka akan demikian karena saat itu kami
hanya mendapat tugas untuk membuat tiga buah karangan dengan cerita yang berbeda dan tugas
itudiberikan oleh pa Frans. Saat itu, beliau sedang melaksanakan praktik mengajar bahasa Inggris
di SD kami. Saat itu saya menulis tentang relasi saya dengan kakek, tulisan itu berjudul kakekku.
Saat saya menulis, kakek saya sedang sakit dan saat saya mendapat majalah kunang-kunang
yang memuat tulisan saya itu, kakek saya telah meninggal. Kamu tahu bagaimana perasaan sedih
paling polos kan? Sayangnya, saya tidak menyimpan majalah itu dengan baik.
Tiap kali mengingat tentang tulisan saya yang muncul di Kunang-Kunang saya selalu 
bersemangat untuk mengembangkan hobi menulis. Walau seringkali diikuti dengan keingian untuk 
bersantai yang sesantai-santainya. 
Dari situlah saya menyukai menulis. 
Menulis di buku harian 
Saya menulis di buku harian dengan sangat rajin sejak SD sampai hari saat Mama 
menemukan buku harian itu. Saya pun mulai memilh hal-hal yang akan saya tulis.  Sebagai 
seorang manusia yang sangat suka mengabadikan sesuatu di dalam buku, saya memiliki selusin 
buku harian. Buku-buku itu masih saya simpan dengan sangat baik sampai hari ini. Dengan 
berbagai warna dan ukuran, namun jika dibuka akan menemukan banyak coretan di dalamnya dan 
juga sisa-sisa kertas yang telah saya  robek. Hal itu demi menghilangkan jejak-jejak kemunafikan 
dan hal remeh yang tidak ingin saya kenang di kemudian hari. Setiap kali melihat tiap kertas itu 
terbakar, saya selalu merasa menang. 
Berpindah ke blog & akan menetap di sana. 
Tahun 2017, dikenalkan blog oleh teman. Sampai pada tahun 2019 saya mulai 
memakainya dengan agak rutin, walau sering lalai mengisi tulisan. Dengan adanya blog, 
sebenarnya saya lebuh merasa memiliki tanggungjawab untuk menulis. Sampai saat menulis ini, 
menulis bukan hanya sekedar hobi bagi saya tapi juga berbagi. Saya sangat senang saat melihat 
statistik kunjungan di blog. 
Tiap selesai menulis tentang sesuatu, saya selalu merasa memiliki makna. Namun saat 
menulis di blog, saya selalu memfilter hal yang ingin saya bagikan. Saya ingin jika nanti saya 
membaca kembali tulisan itu, saya tidak ingin diingatkan tentang hal buruk. Makanya, saya belajar 
untuk menulis hal yang psotif-postif saja. 
Menulis juga sebagai sarana untuk terapi bagi saya. Maka menulis haruslah selalu 
menyenangkan untuk saya. Karena menyenangkan makanya saya akan berpikir tema atau konten 
apa yang akan saya tulis hari ini, atau soal pilihan kata dan penempatan diri dalam tiap tulisan 
saya. 
Terkadang tulisan panjang yang saya selesaikan hanya berurusan dengan hati, seperti 
segala curahan hati tentang orang, pengalaman atau ide yang terlintas di benak saya. 


Ruteng, 26 Januari 2020.

Jumat, 03 Januari 2020

Untuk Kamu.

Perasaan hangat itu kembali,
ia berada di balik kemudi
dan saya mendampinginya
dengan mesra dan hangat.

Memegang saku sweater hitamnya
saat berkendara, bercanda,
kontak mata, foto berdua dan
harapan kecil dalam hati.

Apa kau pernah berpikir itu akan terbalas?
Pernah. Setidaknya itu ada dipikiran.

Saya ingat kamu malam ini,
mungkin dimalam-malam berikutnya,
hangat saja saat mengingat kamu,
mengingat tanpa ingin dibalas,
tanpa ingin kamu tahu.

Saya ingat kontak mata kita,
suara kamu,
potret kita
dan kita.

Gereja itu masih ada. Di depan pintunya pernah kita
foto berdoa. Kamu pegang hp dan saya kaku disebelahmu.

Cici.

Setahun Berdua

                                                  " Selamat merayakan setahun berdua dalam relasi pacaran ini, *ian dan Cici.      Tida...