Sabtu, 22 Februari 2020

Ghosting

Saya baru tahu tentang ghosting dari sebuah artikel di magdalena.co.id, setelah saya membacanya barulah saya menyadari bahwa saya sedang mengalami fenomena seperti itu. Fenomena seperti itu saya alami dalam sebuah relasi. Awalnya saat melihat kata ghosting, saya berpikir bahwa ghosting itu seperti menakut-nakuti seseorang dengan hal-hal mistis. Ternyata bukan seperti itu, saya pun mempertanyakan ke diri sendiri kenapa hal seperti itu dinamakan ghosting? Sisi sok tahu saya pun muncul, dinamakan ghosting mungkn terinspirasi dari setan/hantu yang suka hilang lalu
muncul kembali.

Nah, dari pada terus terkungkung dengan ke-sok-tahuan saya itu, maka saya pun menelusuri kata ghosting di mesin pencarian terkenal kita yang bernama google.

Menurut wikipedia, Ghosting is a colloquial term used to describe the practice of ceasing all comunication an contact with a partner, friend, or similar individual without any apparent warning or justificaton and subsequently ignoring
any attempts to reach out or communicatemade by said partner, friend, or individual. Yah seperti itulah, definisi dari ghosting, sesuai dengan apa yang saya alami.

Dari definisi ghosting menurut wikipedia itu, maka dapat kita lihat bahwa ghosting itu ada pelakunya dan ada korbannya. Bedasarkan definisi itu, ghosting mungkin dapat dikategorikan sebagai kejahatan emosional, menurut saya.
Bayangkan, komunikasi yang masih terjalin dengan indah, penuh harapan dan cerita-cerita membangun mimpi harus hilang atau dihentikan oleh sepihak, lalu pihak itu memblokir semua akses media komunikasi dan media sosial. Pihak itu pergi tanpa penjelasan, dan si korban pun bertanya tanya apa penyebab atau masalah sehingga dia (ghoster pergi). Dalam relasi pacaran, ghosting merupakan cara paling menyakitkan untuk mengakhiri relasi.

Begitulah yang saya alami tahun lalu, lalu terjadi lagi dalam minggu ini oleh orang yang sama. Pasti
bertanya,”kenapa dengan laki-laki yang sama?” Yah, berdasarkan zodiak capricorn, yang adalah zodiak yang menaungi hari-hari hidup saya dituliskan kalau orang yang dinaungi oleh zodiak itu adalah seorang yang sangat tulus dalam relasi,
baginya semua manusia itu baik dan ia tidak memikirkan hal negatif. Ia suka mengambil nilai baik dari segala hal yang terjadi, misalnya dalam relasi. Dan, saya pun begitu, sangat tulus dalam tiap relasi. Mungkin karena dipengaruhi juga
oleh segala kesibukan kerja dan project pribadi saya, sehingga saya merasa tidak punya cukup waktu untuk selingkuh atau tidak setia dalam relasi. Baik itu hanya melalui perantara media sosial ataupun bertemu langsung, sejauh ini masih
tetap pertahankan ketulusan dalam relasi. Jadi, saat si dia datang dalam hidup dan merasa “klik” maka saya pun menjalani dengan tulus.

Setahun lalu kami berkirim pesan singkat hampir tiap menit, telepon dan berbagi cerita hampir tiap hari. Beberapa rancangan tentang masa depan kami buat bersama, kami pun mencari benang merah untuk perbedaan perspektif kami tentang hidup. Dengan mudah kami menemukan jalan tengah. Mungkin dikarenakan kami yang memiliki
hobi yang sama. (Betapa seriusnya capricorn dalam relasi) Si Enu diguyuri banyak perhatian, relasi itu pun dijadikan bahan tulisan oleh si nana dan dimuat dalam media online. Betapa romantisnya punya pacar penulis, begitulah yang terlintas dalam benak si enu. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali si nana menulis tentang si enu dan relasi mereka.

Lalu, apa yang terjadi saudara-saudara, dengan dapat sesuai dengan pembahasan kita pada hari ini...yah  si nana pergi begitu saja. Chat hanya centang dua tanpa warna biru, tak dibalas berhari-hari, telepon tak diangkat kadang dinomorsibukkan lalu si enu menyadari kalau si nana telah memblokir semua media komunikasi mereka.

Apa yang si enu rasakan? Yah, galau. Perasaan yang sangat manusiawi. Ditinggal tanpa penjelesan, membuat seseorang merasa harga dirinya terganggu. Merasa ada yang hilang, tentu saja. Pada hari ketiga, ia pun berhenti mencari tahu. Ia disibukkan dengan banyak pekerjaan saat itu. Namun, ia tidak membenci orang itu. Di kepalanya lebih banyak mengenang hal yang indah dan positif dari pada sibuk menduga kemana dan kenapa si dia pergi. Itulah yang terjadi tahun lalu. Selang berapa lama, si nana kembali memberi kabar kalau satu tulisannya tentang pendidikan telah memenangi perlombaan. Dengan sebuah pesan yang singkat melalui sms dia bilang “kita jalani sendiri-sendiri saja, saya punya kehidupan yang lain di sini”

Lalu apa yang selanjutnya si enu rasakan? Mungkin karena dalam rentang waktu menghilang tanpa alasan itu, si enu telah menduga demi mengantisipasi apa yang akan terjadi. Dengan praduga itu, ia berusaha untuk menyembuhkan perasaanya sendiri. Dugaannya benar, saat ia membaca chat itu ia merasa biasa saja. Ia tidak terlalu menyesali, pokoknya biasa saja.
Namun ia berpikir, kenapa tidak mau putus secara romantis saja? Maka, pada 3 bulan setelah hari itu, si nana tidak mengelak lagi untuk bertemu dengan si enu tiap hari karena mereka telah menjadi team kerja. Apakah si enu membalas dendam? Jawabannya, tidak. Tidak sama sekali. Malah dengan perasaan yang biasa, komunikasi mereka tentang ingin putus dengan cara yang romantis disambut baik lalu diwujudkan.Kalau saat jadian masih canggung karena belum saling mengenal, maka kalau putus/breakpup bisa dengan cara yang
romantis karena sudah saling kenal.

Mereka mengakhiri hubungan dengan cara yang dipikir romantis, di salah satu tempat yang mereka suka dan itu adalah hari ulang tahun si nana. Merayaklan ulang tahun dengan putus secara resmi. Tanpa kue ulang tahun, langsung lilin saja yang ditancapkan di tanah ditambah surat dan doa bersama dalam hati.

Lanjut lagi tentang ghosting, akhirnya saya menyadari bahwa begitulah ghosting. Ghosting sudah dikenal sejak lama selama manusia berinteraksi.  Dalam Minggu ini, 2020. Saya pun mengalaminya lagi dengan orang yang sama.
Saya tidak kapok, saya lebih suka mengambil pelajaran baik dari semuanya. Saya berpikir, itu juga bisa menjadi cara untuk mempelajari dia. Mungkin dia atau orang yang memang hobi menghosting/ghoster rekannya adalah tipe yang suka menghindari masalah dan merasa bahwa mereka benar untuk semua hal atau merasa lebih tampan atau cantik sehingga butuh ditunggu atau dikejar. Cerewet sekali kan saya? Beda saat bertemu langsung dan saat membaca tulisan ini.
hehehehh. Ini murni pemikiran saya.

Untuk mengakhiri ini, saya kembali mencari tentang ghosting di google. Saya menemukan pembahasan singkat tentang alasan seseorang melakukan ghosting. Mungkin alasannya serupa dengan alasan nana ghosterku. Di situ dituliskan kalau alasan si ghoster adalah: untuk menghindari konfrontasi karena takut jika mengatakan kebenaran malah akan melukai perasaan dia. Yah, santai saja lha...Dan bagi ghoster (orang yang melakukan ghosting), ini adalah bentuk penghindaran ketidaknyamanan emosional diri sendiri. (Saat membaca yang dituliskan oleh kompasiana.com, saya merindukan orang yang kisahnya saya tuliskan di sini, kisah kami) Yah, perasaan seperti awan. Rapuh.

Jadi, jangan biarkan kepergiannya itu merampok masa depannmu yang lebih baik, pesan saya ke diri sendiri. Tetap jadi orang yang lebih baik dan pertahankan martabat. Biarkan dia pergi dengan damai.

Ruteng, 22 Februari 2020.

Salam hangat,

Cici Ndiwa.

Kisah Cinta Jagung dan Pucuk Labu (Part 3)

Part 5 Breakup

Ibarat sebatang jagung, akan tumbuh ketika ada media tanam berupa tanah. Akan tumbuh subur jika disirami oleh manusia atau mendapat curah hujan yang cukup dan juga jika bibitnya bagus.  Dari satu biji itu, akan membelah. Di dalam tanah, akar serabut semakin menembus tanah dari waktu ke waktu dan di atas permukaan tanah mulai muncul daun berwarna hijau yang lambat laun akan terus bertumbuh dan menjadi tanaman jagung. Kurang lebih seperti itulah prosesnya.

Masa tumbuh tanaman jagung memang pendek, namun ia terus tumbuh. Bertahan dari segala hama dan angin. Walau masa hidupnya yang singkat, tanaman jagung tetap menghasilkan yang namanya jagung yang sering kali kita konsumsi.

Kata “seumur jagung” adalah suatu kiasan untuk suatu rentangan waktu yang singkat. Seringkali kita mendengar teman atau orang-orang disekitar kita berbicara tentang itu. Baik untuk bahasa kiasan menyatakan masa awetnya makanan maupun rentang waktu sebuah relasi. Yah relasi Jagung dan Pucuk Labu yang sangat singkat, seumur jagung.

Pucuk Labu tidak pernah menyangka relasi romantisnya akan selesai dalam rentang waktu yang singkat. Banyak hal telah dirancangkan berdua dengan Si Jagung, tanpa belum melangkah untuk mewujudkan malah relasinya harus singkat seperti usia tanaman jagung. Walau sesingkat-singkatnya umur jagung, jagung tetap menghasilkan sesuatu. Jagung pernah mulai kehidupannya, pernah membagi dirinya
dengan air dan tanah untuk tumbuh dan bertahan saat angin menggoda.

Walau begitu, sekuat dengan mencoba memikirkan hal yang rasional sekalipun dari hal yang telah
terjadi dengan relasi yang singkat dengan Si Jagung, Pucuk Labu tetap merasa bingung dan kecewa untuk mencerna semuanya.

***
Pucuk Labu ingat kalau semua masih terlihat biasa saja hari itu; masih diguyuri oleh perhatian,
tepatnya hari Sabtu. Pucuk Labu masih disibukkan dengan pekerjaan, kalau Jagung sedang membersihkan gereja bersama OMK untuk persiapan misa Sabtu Suci. Jagung masih mengirimkan foto wajahnya yang
berkeringat ke Pucuk Labu dan Pucuk Labu membalas mengirimkan foto wajah yang menunjukan wajah kelelahan, khususnya mata.

Mereka saling mengingatkan untuk beristirahat, juga mengingatkan untuk mengikuti misa pada
Sabtu Suci. Walau mereka ada di pulau yang berbeda, saat itu.
Pucuk Labu menyukai misa Sabtu Suci sejak ia kecil. Ia percaya dan yakin, segala doa yang ia
haturkan akan dikabulkan oleh Tuhan. Saat itu ia meminta sesuatu, ............

Sejak memulai relasi dengan si Jagung, setiap permohonan untuk relasi berdua selalu dituliskan
oleh Pucuk Labu di satu bukunya yang memang dikhususkan untuk itu. Ia selalu mengirimkannya kepada Jagung agar didoakan juga.

Sampai pada sore menjelang misa Sabtu suci itu, Pucuk Labu masih antusis mengirimkan
permohonan doanya ke Jagung. Biar saat mengikuti misa, Jagung juga turut mendoakan, Jagung pun setuju.

Pucuk Labu meyakini bahwa sesuatu tidak datang tanpa alasan. Ia percaya bahwa, datangnya
Jagung ke dalam hidupnya sebagai buah dari permohonan yang ia haturkan saat awal tahun itu.

Ia pun membicarakan itu dengan Jagung. Mereka mempercayai hal yang sama.
Tak ada puisi yang lebih indah dari air mata yang mengalir karena merindukan seseorang yang jauh
di seberang pulau. Menangis saat sangat rindu dan dengan sadar menyadari bahwa mereka jauh. Salah satu cara yang ditempuh adalah berdoa. Yah, religius yang romantis.

Lalu, pada suatu malam sepulang mengikuti misa. Jagung tak lagi membalas chat dari pacarnya, Si
Pucuk Labu. Sejak hari itu ia menghilang. Mulai dari tidak membalas chat, centang dua biru tanpa kejelasan, foto profilnya kontak Wanya yang lagi tak terlihat, dan ia betul-betul tidak bisa dihubungi lewat apapun.

Jagung memblokir segala media sosial.

***
Bagaimana kelanjutannya? Pucuk Labu masih tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia masih bekerja, masih makan dan minum seperti biasa. Yah, Pucuk Labu tentunya melamun karena ia seorang yang sangat suka melamun. Namun, ia tidak bisa menutupi perasaannya. Ia telah di-ghosting oleh Si Jagung. Ghosting adalah aksi menghilang, yang seringkali dijumpai atau dialami dalam hubungan yang romantis. Pelakunya bisa si perempuan atau laki-laki, begitu juga korbannya. Dan menjadi korban, sungguhlah menyakitkan. Menyakitkan yang tidak menimbulkan luka atau memar, namun menimbukan pelajaran. Pelaku ghosting lebih cenderung menahan perasaan sehingga mereka terbiasa untuk
menghindari seseorang atau menghindari konflik dengan menghilang tanpa sebab.

Tidak berlebihan jika saya bilang, bahwa ghosting adalah bentuk kekejaman emosional. Beberapa
Minggu, Pucuk Labu membiarkan saya untuk tidak memperoleh informasi apa-apa atau alasan yang
membuat dia pergi. Beberapa Minggu itu dia pergi begitu saja.
Karena kesibukan kerja, sehingga Pucuk Labu tidak terlalu memikirkan untuk mencari jejak
hilangnya Si Jagung. Sesuai namanya, relasi ini memang seumur jagung. Karena tidak menemukan alasan
yang rasional, maka pemikiran yang tidak rasional namun bisa diandalkan pun terbesit di kepala Pucuk
Labu. “Yah, mungkin Sang Pencipta menginginkan seperti ini, jika berjodoh yah akan ketemu lagi tanpa
melalui perasaan yang rumit”

***

Setidaknya selama dengan Si Jagung, Pucuk Labu telah memberikan yang terbaik. Perhatian, kasih,
sayang dan ketulusan dengan kualitas terbaik dan sangat sungguh-sungguh.

Pucuk Labu tidak menyesal, meskipun ia menyadari jika dalam relasi itu segala yang diberikan dengan kualitas terbaik tidak dibalasi begitu juga oleh Jagung.

***

Aku, Si Pucuk Labu merasakan bahwa tugasku pada relasi seumur jagung itu telah selesai, itu
adalah babak hidup yang sangat indah untuk dikenang. Kecewa yang sedikit dngan bahagia yang sangat
banyak. Memori di kepala lebih banyak menyimpan hal-hal indah, sehingga hal yang tidak bahagia dapat
segera sirna.

Hadirnya Jagung memberikan beberapa pelajaran hidup, tanpa ia sadari hal seperti itulah yang bisa
ku ambil dari relasi seumur jagung itu.

***
Dear Jagung.
Beberapa tulisanmu tahun lalu di media online yang menyinggung kita baru aku balas.
Mungkin tak sesuai ekspektasimu, tulisan ini memang jujur tentang apa adanya kita.
Kita yang seumur jagung, dengan pelajaran hidup serimbun pohon beringin.
Pikirkan saja, jika dalam satu musim daunnya berguguran.
Terima kasih untuk hadir dan menjadi team kerja.
Untuk acara breakup kita yang resmi di hari kamu berulang tahun.
Setelah kamu pergi begitu saja setelah misa Sabtu Suci, saya tidak mencarimu.
Kau pun punya kehidupan yang lain, kita lahir sendiri-sendiri.
Mungkin saja, saat itu kita belum bisa bersama.
Kau hadir lagi dengan segala baikmu.
Bahwa manusia memang sungguh baik, kau merepresentasikan itu. 
Sampai hari ulang tahunmu, kita masih rayakan berdua
Rayakan lalu berdoa bersama untuk mengakhiri hubungan dengan resmi
memakai cara paling romantis yang bisa kita lakukan.
Kita berdoa tanpa suara,
tanpa saling tanya “ujudmu apa?”

........................SELESAI.

Ruteng, Februari 2020.

Kamis, 20 Februari 2020

Kisah Cinta Jagung dan Pucuk Labu (Part 2)

Part 3 Jadian

Pada suatu malam yang dingin di kota Ruteng, kita membahas buku Pramoedya Ananta Toer yang
berjudul Bumi Manusia. Malam itu kamu membaca buku itu dan kita masih memiliki waktu untuk saling telepon
untuk saling memberi kabar dan membicarakan buku-buku. Bumi Manusia, salah satunya. Terlebih saat
novel itu diangkat menjadi film. Kita juga membahas apakah si dia pas memerankan si ini atau si itu.

Mungkin disitulah, saat kita membaca sebuah buku kita juga membayangkan tiap alur akan diperankan oleh
siapa, seperti itu. Sehingga saat ada yang memerankan itu tak sesuai ekspektasi kita, maka kita akan
memberikan argumen yang membuat kita bisa memenangkan apa yang kita pikirkan. Kita mencari orang
yang sepemikiran sama kita tentang itu.

Cara kita berpendapat kadang seringkali mengintimidasi orang lain,
namun orang yang sedang bercakap denganmu di telepon tak seperti itu. Ia telah belajar menerima
perbedaan sebagai hal yang indah, terlebih perbedaan pendapat sebagai hal yang kaya dalam dunia
intelektual.

Si Jagung mulai dengan kalimat andalannya, menanyakan kabar dan buku apa yang telah dibaca
pada hari itu. Si Pucuk Labu adalah seorang yang ingin terlihat dan terdengar baik-baik saja, tanpa
menghilangkan kesederhanaannya. Ia menjawab Si
Jagung dengan mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan
belum membaca satu buku pun pada hari ini karena ia disibukkan dengan beberapa pekerjaan.

Si Jagung yang seorang guru pada saat itu mulai menceritakan kesehariannya. Tentang jam berapa
ia bangun pagi, apa yang ia lakukan setelah bangun pokoknya rutinitas yang ia lakukan sebelum berangkat
ke sekolah. Malam itu dengan detail si Jagung menceritakannya kepada Pucuk Labu. Tentang anak murid
yang sangat semangat dalam belajar demi mempersiapkan ujian dan juga program surat menyurat yang
direncanakan oleh Si Jagung.

Sebagai seorang yang menyukai literasi, maka Si Pucuk Labu cukup nyambung ketika
membicarakan itu. Ada satu konsep yang ada di kepala Si Pucuk Labu namun ia begitu malu membicarakan
itu dengan Si Jagung. Sungguh, itu adalah kali pertama telepati bekerja dalam relasi Jagung dan Pucuk
Labu. Si Jagung langsung membicarakan sesuatu dan menawarkan untuk bekerja sama dengan Si Pucuk
Labu, si Pucuk Labu lantas antusias karena hal itulah juga yang ada dipikirannya.

***

Lalu bagaimana mereka memilih untuk mendefinisikan relasi mereka? Yah, setelah dipikirkan secara
lama maksud dari Si Jagung, maka Si Pucuk Labu pun menerima Jagung untuk menjadi pacarnya.

Kami
resmi berpacaran, siapa sangka ....
Entah dipercaya atau tidak, si Jagung datang saat masa novena tentang “relasi” selesai. Si Jagung
datang dan yah, Pucuk Labu adalah pacarnya sejak hari itu.

Sejak hari itu, ada ujud-ujud khusus yang tetap Pucuk Labu haturkan ke Sang Pencipta.

Part 4 Pacaran

Sepertinya kemarin Pucuk Labu masih single, namun pada pagi hari ia terbangun dengan satu relasi
yang baru. Ada chat di WA dan telepon hampir tiap hari sejak malam itu. Pucuk Labu memasuki masa-masa
penuh bunga berterbangan di atas kepala, inilah transisi dari tidak ada ikatan menjadi memiliki ikatan.

Pacaran adalah masa-masa saling mengenal seseorang secara lebih pribadi dan mendalam. Dalam hal mengenal tersebut, seseorang masih tetap menjadi dirinya. Kadang jika menegtahui bahwa itu sebuah proses saling mengenal maka yang bersangkutan bisa seolah-olah menjadi pribadi yang lain, yang ia pikir
akan membuat pasangannya senang. Namun, itu tidak terjadi pada relasi yang sedang dijalani oleh Pucuk Labu dan Jagung. Mereka tetap menjadi diri mereka sendiri, yang tidak enggan mengunyah walau bulir tumpah.
Yang tidak enggan berkomentar untuk kesalahan pengetikan atau ada gambar yang tidak senonoh yang
dipublish di media sosial.

Dalam proses mengenal, mereka membuat semacam pembatasan atas hal-hal yang privasi.
Jikalau pada masa PDKT, yang ditunjukkan adalah hal-hal yang indah saja, maka saat pacaran itu
lambat laun tergerus. Saling menunjukan karakter yang asli, masa pacaran sangat seru. Kita lebih tahu
secara langsung bagaimana si dia, tanpa melalui perantara atau jembatan atau menduga-duga. Kita bisa
mempelajari sifat, kebiasaan dan karakter yang muncul.

Si Pucuk Labu memang sosok yang manja, di masa-masa relasinya terjalin ia juga sedang
disibukkan dengan pekerjaannya. Si Jagung adalah sosok yang penuh perhatian, akan blak-blakan jika
bicara/chat dan juga penuh kasih. Sehingga Si Pucuk Labu merasa hari-harinya diguyuri oleh perhatian dari Si Jagung.

Si Jagung selain seorang guru, ia juga seorang penulis yang aktif. Sesuatu yang sangat lambat
diketahui oleh Si Pucuk Labu. Pucuk Labu dengan sangat antusias membaca semua tulisan Jagung di
berbagai media sosial online yang ada. Beberapa tulisan didedikasikan oleh Jagung untuk kekasih barunya, Si Pucuk Labu.

Masa pacaran merupakan masa saling berbagi. Kedua insan yang sedang ditaburi bunga, sayur dan
pepohonan ini ada di dua pulau berbeda. Salah satu cara untuk berkomunikasi pada awal relasi mereka
adalah melalui chat, telepon, video call dan juga saling mendoakan.

Tiap malam selesai mereka melakukan aktivitas masing-masing, mereka akan telepon untuk saling
berbagi cerita. Si Pucuk Labu bercerita tentang kesibukannya mengurusi persiapan satu perhelatan besar di
negara ini yang sering kali mengambil semua waktunya, psikis maupun fisik. Sampai jika Pucuk Labu pulang
malam, Si Jagung dengan setia menemaninya dengan telepon. Teknisnya, saat akan menstarter motor maka si Pucuk Labu miskol ke Jagung dan Jagung tahu apa yang harus ia lakukan. Yah, menemani dengan
suara di telepon agar si Pucuk Labu tidak merasa sendiri pulang ke rumah. Sangat banyak pengandaian 
yang mereka berdua buat soal ditemani dan menemani, dan saat mereka bertemu secara langsung pengandaian itu akhirnya diwujudkan. 

Mereka berdua saling berbagi cerita, Si Jagung bercerita tentang anak-anak muridnya di sekolah 
dan kelompok keagamaan yang dia ikuti di pulau itu. Pucuk Labu mendengar  dengan saksama. Ia menyukai cara pacarnya bercerita, ia mendukung segala yang pacarnya impikan. Dalam hati seseorang yang sedang 
mengasihi dengan tulus, ia mengaminkan segala rencana baik pacarnya itu. 

Yah, dari segala percakapan dan bentuk perhatian maka pacaran juga merupakan bentuk 
pelampiasan kasih dan sayang ke seseorang. Setiap orang bukan saja punya kebutuhan untuk disayangi, 
lebih dari itu seseorang juga punya kebutuhan untuk menyayangi seseorang dengan sangat tulus. 

Jika dihadapkan pada dua kata yakni mengasihi dan menyayangi, menurut saya yang lebih tinggi adalah mengasihi. Saya 
belum menemukan definisi yang pas itu. Namun, saat engkau sungguh-sungguh menerima baik, buruknya orang itu dan engkau tetap sayang mungkin itu bisa dinamakan dengan mengasihi. 

(Beberapa bulan setelah kami mengakhiri relasi secara resmi, saya pun menyadari bahwa bukan 
sekedar sayang saja, saya telah ada dalam tingkat mengasihi dia) 

Semua orang punya definisi masing-masing tentang pacaran, pokoknya pacaran itu sungguh 
menyenangkan. Bukan terus-terus menyenangkan juga, karena jika dua manusia disatukan tetap ada 
konflik. Dari situlah Si Pucuk Labu belajar tentang interaksi. 

Terlepas dari pemikiran tentang konflik-konflik itu, Si Jagung selalu ada jika Pucuk Labu 
membutuhkan. Ikatan kedua insan ini memang sungguh- sungguh erat. 
Dia selalu ada ketika Pucuk Labu butuh teman cerita, dia selalu ada ketika Pucuk Labu mengeluh tentang 
apa pun. Bersama dengannya, waktu sangat cepat berlalu. 

Pucuk Labu adalah seorang yang sangat serius menjalani suatu hubungan pacaran, ia bertekad 
untuk tulus dan akan selalu tulus walau dihadapi oleh hal apa pun. Sebagai manusia, ia sering kali 
menguatkan hatinya sendiri. Ia percaya, jika hubungan ini akan berlanjut di jenjang pernikahan dan mereka 
setia. Maka, satu-satunya yang membuat mereka tidak bersama adalah kematian. Wahhhhh.....sangat jauh 
kan pemikiran Si Pucuk Labu kita, yah ia memang seseorang yang sangat serius dalam menjalani suatu 
relasi, namun Si Pucuk Labu tidak akan mengekang. 

Serius sekali kan ini??? Sebagai seseorang yang sangat suka kerja, Si Pucuk Labu sangat sering 
lupa makan. Kehadiran Si Jagung membuatnya tak lupa lagi untuk makan, karena pacarnya akan selalu 
mengingatkan. 

Kadang pacarnya harus memastikan ada suara piring, senduk dan suara kunyah makanan di 
dalam mulut. 
Pucuk Labu dan Jagung pun bercerita tentang rencana-rencana ke depan, bagaimana jika Jagung 
ada sepulau dengan Pucuk Labu, rencana pendidikan, kerja dan juga keputusan untuk seriusi relasi. 

Singkatnya, kami membahas rencana masa depan kami akan seperti apa.................. 

Namun, Tuhan ternyata punya rencana yang lain. Saat itu tak sesuai dengan rencana yang ada. 
Rencana yang tak pernah terduga itulah yang membuat hidup sungguh indah karena penuh dengan kejutan ditiap-tiap jalannya. Saat itu, si Pucuk Labu menguatkan hati bahwa apa pun itu, itu adalah yang terbaik. 

Bersambung ...................... 
 

Ruteng, 20 Februari 2020.

Rabu, 19 Februari 2020

Kisah Cinta Jagung dan Pucuk Labu (Part 1)

Part 1 Kenalan

Hai...namaku Pucuk Labu,
ini bukan nama asliku,
aku seorang perempuan yang menyukai buku-buku
dan kalimat-kalimat indah
tak ada yang aku takutkan selain Tuhan.
Kenapa juga harus aku beritahukan apa saja yang aku takuti?
Kembali lagi ke namaku, ini nama khusus
yang kusematkan sendiri pada tubuhku yang tidak ringkih.
Lalu seorang juga memanggilku nama nama Pucuk Labu,
Pucuk Labu ada di kolom tiap tulisan juga ada di kontak ponselnya dulu
dan menjadi nama yang khusus ia panggil untukku.
Setelah masa hidup jagung selesai, tidak pernah lagi
ada yang memanggil namaku dengan nama Pucuk Labu
bahkan aku juga lupa, kapan terakhir aku memakai nama itu.
Saat ini aku ingin menulis kisahku bersama seorang yang kupanggil Jagung.
Jagung, panggilan khusus dari seorang bernama Pucuk Labu.

Pucuk Labu dan Jagung pertama kali bertemu saat ada pertemuan penting di kampus.
Pucuk Labu tahu bahwa itu Si Jagung, mahasiswa yang sebelumnya sudah mengenalkan diri lewat
mesengger juga mahasiswa yang sering kali mengontaknya via mesengger untuk bertanya perihal tulisan di
buku dan koran yang ada di kampus. Seringkali Pucuk Labu mengabaikan pesan-pesan itu, karena Pucuk
Labu tahu kalau si Jagung bisa ke Perpustakaan kampus untuk membaca tulisan atau koran yang dimaksud. 

Sebelum pertemuan penting di ruang tamu itu, Pucuk Labu dan Jagung pernah bertemu di area kampus.
Bertemu tanpa saling menyapa, hanya saat si Pucuk Labu berjalan lalu mengangkat muka melihat
disekeliling. Maka ia jumpai si Pucuk Labu yang juga diam-diam dia hindari. Kenapa Si Pucuk Labu
menghindari Jagung? Padahal Jagung Muda sangat gurih jika ditumis dengan Pucuk Labu. Jadi begitu lha
awal mula mereka bertemu.

Tak sedikit pun Pucuk Labu memikirkan tentang si Jagung, saat itu.

Ternyata hal itulah yang membawa Pucuk Labu kepada kejutan-kejutan yang menyenangkan di tahun-tahun
berikutnya.

Part 2 Pendekatan

Masa pendekatan, memang masa yang paling mendebarkan. Dengan memakai insting dan feeling, kita pasti
tahu seorang datang atau sedang menuju hidup kita dalam rangka apa. Sederhananya, kita pasti tahu tujuan
orang ke kita. Atau dengan jurus ampuh plus sakti plus plus, kita bisa mengubah tujuan hidup orang ke kita
jika tujuan itu jahat. Semua orang punya plan A, B, C & D; begitulah otak dan fisik ini bekerja. 
Dalam kisah ini Si Pucuk Labu telah menyadari itu, si Jagung datang ke arahnya dan Pucuk Labu juga
bergerilya untuk mencari tahu tentang si Jagung.
Tiap Jagung mengguyur Pucuk Labu dengan perhatian-perhatian yang berlimpah, Pucuk Labu yang
instingnya telah terlatih untuk membaca pergerakan berikutnya. Maka si Pucuk Labu juga cukup intens untuk
mencari tahu tentang Si Jagung. Sebagai seorang yang menyukai aktifitas menulis, maka Pucuk Labu
sangat mengerti semua postingan yang ada pada akun media sosial dari si Jagung.
Mungkin begitu juga yang dilakukan oleh Jagung pada akun media sosial Pucuk Labu.

Masa pendekatan cukup lama, dilakukan lewat saling kode lewat media sosial yang berujung tulisan itu
dimuat juga oleh media lokal bahkan saling telepon lama-lama. Untuk yang terakhir ini, Si Pucuk Labu
memang jarang sekali menelpon lama dan itu terdengar dari nada suaranya yang agak kaku namun pelan
dan juga bahan pembicaraan yang kaku.

Momen pendekatan itu mereka lalui dengan membahas pemerintah Indonesia, Timor-Timur, Natuna, Novel
Orang-Orang Oetimu, kebiasaan orang-orang Sumatera, keberagaman dan toleransi di Manggarai lalu 
berakhir dengan membahas lagu-lagu dan novel Fiersa Besari, hari itu.

Kita menemukan banyak sekali persamaan, baik tema buku-buku bacaan, pandangan kita tentang budaya,
tentang pemerintahan, tentang lagu dan juga Fiersa Besari. Saya hanya mendengar nama Fiersa Besari
melalui cuitan-cuitannya di twitter dan si Jagung lebih banyak tahu tentang beliau. Saat itu, kita juga
berbicara tentang LGBT dan bagaimana kita mengambil sikap soal itu.


Sampai saat itu Si Pucuk Labu bilang ke Jagung untuk tidak menggosipkan nama Fiersa Besari, saat itu kita 
berbicara tentang Fiersa Besari yang akan menikah, masa lalu Fiersa Besari, petualangannya ke gunung 
dan laut, kalimat-kalimat indah Fiersa Besari, novel dan juga beberapa lagu-lagu yang karena kamu beri tahu 
liriknya maka aku pun menyukainya. Saat itu si Fiersa Besari sedang melakukan ekspedisi atap langit, 
Jagnung bercerita banyak tentang idolanya. Si Jagung lebih banyak menceritakan dan si Pucuk Labu 
mendapat bagian untuk bilang “ohhh” atau dengan penasaran yang selalu melekat dengan si Pucuk Labu 
maka ia akan bertanya “kenapa begitu?” “Sejak Kapan?” “Kamu tahu darimana?” Pokoknya 5w+1H. Si 
Pucuk Labu memang seorang dengan sikap mencari tahu yang luar biasa, ia menyukai belajar dan 
mendengarkan. 

Si Pucuk Labu ingat, saat itu akhir bulan Februari saat si Pucuk Labu suka menghabiskan waktu selepas 
kerja untuk mendengar lagu-lagu Fiersa Besari di Youtube demi menemukan chemistry antara lirik lagu 
dengan ke arah mana relasi ini akan berjalan. Karena hidup dilalui dengan baik; entah sendiri, berdua atau 
sekedar di-php. 

Sebagai seorang yang sangat multitafsir, ia telah punya beberapa hal untuk menangkis jika segala guyuran 
perhatian itu hanyalah PHP. Baginya sangat perlu menyediahkan payung sebelum hujan. Ia juga sudah 
menyiapkan hatinya jika saja relasi ini berjalan ke arah yang lurus. 

Jadi begitulah saat si pria berancang-ancang untuk pendekatan, maka si wanita suadah tahu apa yang harus 
ia siapkan. Ini bukan hal rahasia, memang beginilah. Pria dan wanita sama-sama manusia. Yang saling 
mendekati untuk bertahan hidup dan saling mengenal untuk keberlangsungan hidup. 

Sebagaimana seorang laki-laki sangat suka memuji, begitulah juga perempuan sangat suka jika dipuji. 

Si Jagung membuatku merasa terbiasa dengan segala konsisten perhatian yang ia buat dari waktu ke waktu. 
Jika ia tidak memberi kabar atau miskol saat pagi maka muncullah perasaan rindu. Satu-satunya perasaan 
yang menandakan pengaruh konsisten perhatiannya telah cukup besar di dalam hidup. 

Walau beberapa hal memang logis tapi bicara tentang perasaan mana ada hal atau alat ukur yang bisa 
menunjukkan berapa skala suka kita kepada seorang. Maka kualami itu seorang diri sambil merasakan kalau 
selain masa pendekatan ini membawa kesenangan dan perasaan ingin terus diperhatikan, juga timbullah 
juga pertanyaan “akan bagaimana relasi ini?”

Sejak pertanyaan itu terbersit kesekian kalinya di kepala, Si Pucuk Labu langsung menyerahkan 
perasaannya itu kepada Sang Sahabat Sejatinya “Ini perasaan saya, Engkau yang lebih tahu segala isinya, 
jika baik maka teruskan, jika tidak maka selesai sampai di sini juga” begitulah Si Pucuk Labu bicara dengan 
Sang Sahabat Sejatinya sebelum ia tertidur. 

Bersambung ..................................................
  

Ruteng, 19 Februari 2020. 

Kamis, 06 Februari 2020

Satu jam dalam hidup

Jika seorang manusia hanya mempunyai sisa satu jam saja dalam hidupnya, apa
yang akan ia buat? Semalam saya tanyakan sendiri ke diri saya, dan begitu banyak
jawaban yang muncul dari pikiran dan juga hati saya.

Saya berandaikan saya hanya punya satu jam saja dalam hidup, setelah bunyi
lonceng yang menandakan enam puluh detik telah berjalan maka dunia ini segere selesai.
Saya membayangkan sesuatu yang bukan kiamat, karena jika membayangkan kiamat  hal
yang saya pikirkan hanya tentang tsunami, gunung berapi yang mengeluarkan banyak
lahar serta gempa bumi, tabrakan meteor juga jatuhnya benda-benda langit dan menabrak
bumi. Saya sungguh tidak membayangkan kiamat yang seperti itu.

Memang tidak bisa saya pungkiri, jika membicarakan tentang kiamat maka hal
itulah yang ada di kepala saya. Sebelumnya saya pernah menonton satu film tentang
kiamat yang berjudul 2012, saya menonton pada tahun 2013 dengan teman-teman. Saat
itu saya membayangkan hal itu pernah terjadi dan mungkin akan terjadi ribuan tahun lagi.
Saya menyaksikan tiap adegan dengan sangat baik, melihat orang-orang berlarian di
pusat kota untuk menghindari jatuhnya puing-puing bangunan, saya menyaksikan saat
banyak bangunan runtuh dan menimpa semua yang ada di bawahnya. Orang-orang berlari
dengan sangat cepat menuju daratan dan tempat yang lebih tinggi untuk menghindari
amukan air laut yang perlahan surut namun dengan cepat akan datang dan menghempas
dengan kencang semua yang ada. Saya menyaksikan bagai mana mereka bertahan
hidup, bahwa mungkin kiamat itu seperti itu menurut saya. Datang seperti monster yang
mengganggu hidup manusia tanpa berbelas kasih namun menyapu bersih.
 
Sehingga saat dihadapkan dengan kata kiamat atau mendengar tentang kata
kiamat, hal itulah yang muncul. Saya pun tidak menyalahkan film, bahan bacaan dan hal
lain yang membentuk pengalaman yang ada di kepala saya. Saya ingat, dulu hal itu
sangat menganggu saya. Bahkan saya takut kiamat akan seperti itu dan akan segera
datang. Pada tahun yang sama saya ke gereja dan mengikuti perayaan natal: saat itu
romo berkhotbah tentang hari kiamat. Saya mendengar dengan sangat baik sambil berpikir
bahwa pertanyaan saya menemukan jawaban di gereja saat misa hari itu. Perspektif saya
tentang kiamat lambat laun berubah, bahwa kiamat hanya tentang diri sendiri. Mungkin ini
jugalah yang mempengaruhi bagai mana saya menjalani hari-hari.

Sungguh manusiawi jika berbuat kesalahan atau kita menyebutnya dosa. Saya
merasa terkadang ditertawai oleh Sahabat Sejati saya. Saya menamai Tuhan sebagai
Sahabat Sejati, semoga teman-teman yang membaca tidak kebingungan dengan sebutan
ini. Atau mungkin saat membaca ini, terlintas dipikiran kalau semua tulisan saya
kebanyakan tentang refleksi hal sehari-hari yang saya alami. Jadi, sebelum saya
melanjutkan tulisan tentang  “Satu Jam dalam Hidup” saya ingin lebih dahulu menjawabi
tanya yang mungkin saja ada di benak saudara. Saya belajar menulis hal-hal sederhana
yang saya alami dalam hidup, tentang pengalaman harian dan juga refleksi saya tentang
sesuatu. Saat menulis, saya juga memilih hal apa secara spesifik yang akan saya tulis dan
juga soal pemilihan kata dalam tulisan. Saya sedang ingin melatih diri dengan hal seperti
itu. Bagi saya menulis memiliki banyak makna sekaligus tujuan. Kali ini, saya menulis
sebagai cara saya mensyukuri satu hari yang berlalu. Silahkan mencoba hal seperti ini dan
lihat betapa lucu dan terbatasnya hidup ini. Maka menulis membuatnya tidak terbatas.

Kembali lagi tentang “Satu Jam dalam Hidup”, yah memang sungguh manusiawi
jika kita berbuat salah. Jika berhadapan dengan manusia, saya menggunakan kata “salah”
namun jika berkaitan dengan hubungan yang lebih tinggi antara saya dan “Sahabat Sejati”
maka saya menggunakan kata “dosa” jika itu memang berkaitan dengan hal yang saya
buat melukai perasaan sesama. Saya berpikir seperti itu, sehingga saya tidak melulu
merasa bersalah dengan sesama. Saya memang merasa itu manusiawi, pandangan
seperti ini datang dari pengalaman saya. Dan hal seperti itu sangat menganggu, saya
selalu saja merasa bersalah sehingga saya minder dalam hidup dan pergaulan. Saya pun

merasa satu kesalahan membuat saya kehilangan satu berkat saya dari Tuhan. Ini jugalah 
yang membuat saya belajar untuk tulus dalam relasi apa saja dan baik dengan sesama. 
Sehingga bumi tidak akan kekurangan orang baik. 

Lalu saya berpikir Kasih Tuhan Tak Terbatas, Ia tetap mengasihi saya dan 
memberikan saya berkat asalkan saya percaya tentang itu. Mungkin hal ini abstrak, tapi 
satu hal bahwa kau mempercayai sesuatu yang tidak kau lihat agar kau bisa mengalami 
bahwa hidup ini menyenangkan. Saya berpikir injil membahasakannya dengan sangat baik 
dan saya lupa, namun pernah membacanya. Yah, ini masih tentang “satu jam dalam 
hidup”  selain tadi berpikir tentang kiamat saya juga memikirkan bagai mana IA melimpahi 
saya banyak berkat bahkan melampaui hitungan waktu yang dimiliki manusia. (Ini tidak 
membandingkan) 

Sebenarnya kembali ke saya membatasi bahwa jika memiliki satu jam saja dalam 
hidup setelahnya adalah kiamat dan tidak kita tahu apa yang terjadi setelah itu. Mungkin 
saja kita tidak lagi menjadi manusia yang memiliki kehendak dan pikiran yang bebas. 
Sehingga jika saya (lagi-lagi saya, yah memang tentang saya) memiliki waktu hanya satu 
jam saja dalam hidup, saya akan melalui dan menjalaninya dengan sebaik mungkin. 

Satu jam dengan 60 menit yang dimiliki akan saya buat begitu berharga bagi saya, 
saya akan berpkir bahwa 60 menit itu lama atau menggunakan jumlah detik saja biar 
kelihatan lebih lama. Sehingga itu sangat mempengaruhi jika satu jam itu sangat lama. 

Beberapa hal yang ingin saya buat jika hanya memiliki waktu satu jam saja. Saya 
menyebut beberapa karena kalau kita bisa melakukan banyak hal atau semua mengapa 
kita hanya memilih satu. (Hal ini tidak berpengaruh dengan relasi, kalau soal cinta yah satu 
akan satu tidak akan tergantikan). Hal yang ingin saya lakukan adalah belajar bermain 
gitar & biola sampai bisa mengiringi satu lagu kesukaan, belajar Bahasa Inggris sampai 
fasih lisan maupun tulisan sehingga bisa mengikuti test IELTS dan memperoleh skor yang 
bisa buat saya melamar beasiswa Australia dan segera bisa ke Australia. Ingin ke 
Maumere untuk sesuatu yang telah saya pikirkan dengan sangat baik. hah, ini sangat 
sederhana kan? 

Satu jam saja dalam hidup hari ini, ingin saya pakai untuk memahami pilar negara, 
nasionalisme, bela negara, integritas dalam hidup bernegara, pemahaman tentang 
berbahasa Indonesia, analogi, silogisme, analisis masalah, berhitung cepat, kemampuan 
figural, tentang berpikir logis dan tentang bagai mana yang harus saya buat atau 
kepibadian seperti apa yang harus saya miliki jika kelak menjadi aparatur sipil negara. 
Andai bisa. Sehingga jika saat itu tiba saya bisa mengklik jawaban dengan penuh syukur. 
: yang paragraf terakhir semacam doa.


Salam hangat,

Cici Ndiwa. 

Selasa, 04 Februari 2020

Menikmati Halaman Rumah, Apa Adanya

Siang tadi saya duduk saja di depan ruangan tamu. Tidak ada kegiatan khusus
yang saya buat, tidak mengerjakan apa  pun, juga tidak bermain hp. Saya betul-betul
duduk dengan diam dan memandang keluar jendela. Siang tadi memang sangat panas,
akhir-akhir ini memang suhu udaranya begitu. Tempat paling adem adalah ruangan tamu.

Tiba-tiba saya melihat tiga ekor kupu-kupu dengan warna yang berbeda, terbang
bermain-main dengan rendah di halaman rumah. Jendela ruang tamu memang langsung
menghadap ke arah halaman rumah kami yang sempit, sehingga segala aktivitas dapat
dengan mudah saya amati. Apalagi jika duduk sangat dekat dengan jendela.

Saya mengamati kupu-kupu yang terbang dengan tanpa suara, maksudnya saya
yang tanpa suara. Awalnya mereka bertiga terbang dengan kompak, semacam
membentuk lingkaran atau itulah gaya terbang saling mengejarnya mereka. Saya
memerhati dengan sakasama sampai ada seekor kupu-kupu menghampiri jendela dan
berdiam di situ.

Saya masih menikmatinya dengan baik ditambah siang yang tenang tanpa suara,
hanya deru suara kendaraan yang ada di jalanan. Jarak antara jalan raya dengan halaman
rumah cukup jauh, sehingga aktivitas kupu-kupu yang sedang saya amati tidak terganggu.
Namun pastilah jika mereka akan terganggu lantas terbang kembali jika saya batuk atau
sekedar berdehem. Untungnya saya tidak sedang batuk dan sedang tak ingin usil
berdehem. Saya membiarkan kupu-kupu itu.

Saat seekor kupu-kupu sedang menepi di jendela, dua ekor kupu-kupu sedang
terbang mengitari bunga-bunga yang bermekaran di halaman. Ada beberapa warna bunga
yang sedang mekar yang memang sungguh sangat menarik perhatian kupu-kupu. Entah
dari jarak berapa pun, jika mereka melihat warna bunga pastilah mereka akan
menghampiri. Sejak tadi, saya tidak tahu kupu-kupu itu datang dari arah mana.

Saya mengamati tiga ekor kupu-kupu itu dengan gemas tapi tak ingin usil. Saya
membayangkan, mereka adalah keluarga kecil kupu-kupu. Entah bagaimana mereka
saling menyapa. Manusia tetap menyebut mereka kupu-kupu. Karena saya berpikir kalau
mereka adalah keluarga kupu-kupu jadinya yang sedang bertengger di pinggir jendela
adalah ayah dan yang sedang mengitari bunga dan mengisap madu bunga adalah ibu dan
anak. yah, yang siang ini  bertamu di halaman rumah adalah keluarga kecil kupu-kupu.

Si ayah kupu-kupu menjaga dari kejauhan, tanpa mendikte ibu dan anak kupu-
kupu. Ia menjaga dari jauh hanya ingin memastikan bahwa dari jarak itu ia bisa lebih
leluasa mengamati sekeliling; seperti berjaga-jaga jangan sampa ada manusia yang
datang ke arah mereka. Si ayah kupu-kupu menunggu saja, mungkin ia juga mengawaso
saya. Jika saya membuat keributan atau bertingkah yang menarik perhatian sekaligus
menjadi ancaman bagi mereka maka ia akan memberi komando dengan segera ke istri dn
anaknya untuk terbang menjauh. Saya membayangkan demikian. Membiarkan mereka
dengan tanpa mengusiknya, biarkan saja mereka mengisap habis madu yang ada di
bunga. Toh, begitulah sesama makhluk hidup di dunia.

Keceriaan keluarga kecil itu membawa saya ke masa kecil. Di halaman yang sama
ini, pernah ada kami. Pernah kami habiskan semua masa kecil kami di situ. Sampai saya
harus bertanya banyak ke diri. Bermain memang sungguh menyenangkan. Yah,
kenikmatan masa kecil itu datang lagi. Sensasinya masih sama seperti saat saya melihat
kupu-kupu. Saat masih kecil juga saya sangat suka melihat kupu-kupu. Saya begitu takjub
sama hewan yang bisa terbang. Sampai kesenangan, hobi atau kesukaan saya melihat
pesawat terbang telah dimulai sejak kecil saat saya mengamati hewan-hewan kecil yang
terbang. Saat ini saya mengandaikan, ada juga hewan besar yang terbang misalnya
kerbau, maka habislah semua rumah ditabraki sampai porak-poranda.

Di pojok lain dalam kisah masa kecil saya, saya melihat ada kebun sayur yang 
kecil. Kebun itu dipagari oleh kayu-kayu. Di dalam kebun kecil itu ditumbuhi beraneka 
macam sayur, tetap didominasi oleh buncis. Buncis menjadi sayur kesukaan saya. Saya 
menyukai bunga-bunga kecil berwarna putih yang mendakan buncis sedang memulai 
usianya. Seringkali saya melihat ada kupu-kupu yang menghampiri namun tak lama. 
Mungkin madunya kurang, atau entahlah bagaimana bangsa kupu-kupu memikirkan itu. 

Di kebun itu, pada pojok yang rimbun sering dipakai anak-anak untuk bermain 
sembunyi. Semacam ada bagian terkcil yang dibiarkan menjadi pintu untuk kaki-kaki kecil 
kami. Seringkali kami diingatkan untuk tidak menginjak sayur atau tumbuhan lain yang ada 
di dalam kebun. Kebun yang sama juga yang sering kami pakai untuk menangkap capung. 
Kamu tahu capung? Masa kecil saya begitu bahagia dan merasa menang jika bisa 
menangkap satu bahkan lebih capung. Saat kecil kami menyebutnya “tembong”. Capung 
suka terbang rendah dan hinggap di dahan-dahan, daun, pagar, batu atau apa pun yang 
bisa ia hinggapi. Kami sering menangkapnya. Berjalan dengan perlahan ke arah capung 
sambil jemari jempul dan telunjuk tangan kanan bersiap menjepit ekor capung. Rupanya 
capung begitu peka dengan getaran yang ada disekitarnya. Sampai suara nafas kami saja 
dapat membuatnya terbang menjauh. Memang si capung snagat suka bermain-main 
dengan kami, ia terbang dan hinggap lagi di sebelah kami lalu saat kami ingin 
menangkapnya maka ia akan kembai terbang menjauh untuk datang kembali. Mungkin 
begitulah capung diciptakan untuk menjaga dirinya sendiri. 

Dulu sangat banyak capung yang mampir di halaman rumah, biasnaya sejak pagi 
sampai sore saya di masa kecil akan berusaha menangkapnya. Saat ini saya berpikir 
untuk apa saya menangkap capung selain karena ingin merasa menang? Saat ditanyai ke 
diri memang ini sangat sulit untuk saya temukan jawabannya. Dulu juga saya menangkap 
capung lalu merobek sayapnya dan membiarkan ia terbang. Beberapa jam kemudian saya 
menemukannya tergeletak di tanah bahkan di air. Saya tidak tahu butuh berapa lama bagi 
si capung untuk menenun sayapnya. saya juga tidak tahu, andai saja ia sedang ditunggui 
di tempat tinggalnya dengan penuh harap. Misalnya berharap mendapat cerita dari si 
capung yang sayapnya telah saya robeki, harapan teman dan keluarga si capung sia-sia. 
Si capung tidak pulang ke rumah karena ia tak lagi bisa terbang dan telah mati. Mungkin 
jika saat kecil saya berpikir demikian, maka tidak ada satu hewan pun yang akan mati di 
tangan saya. 

Kian lama diperhatikan dan diingat kembali, halaman rumah ini adalah rumah bagi 
segala makhluk yang melahirkan banyak kenangan indah. Kenangan yang ini tidak 
tumbuh namun berbunga. Bunga yang indah seperti bunga indah yang bermekaran. 
Namun, kupu-kupu dan campung yang menghampiri halaman rumah tak sebanyak dulu. 
Mungkin saja populasinya telah berkurang karena kelakuan kami di masa kecil atau 
karena kami yang tak lagi memiliki kebun sayur di depan rumah? 

Cici Ndiwa. 4 Februari 2020. 

Senin, 03 Februari 2020

Tentang Mendengarkan


Saya memilih untuk menulis tentang mendengarkan pada hari ini. Sebenarnya ini sangat
sederhana, tidak seperti proses yang saya alami saat memilih tema sebelumnya untuk tulisan saya
di sini.  Tema ini tidak  terlalu membutuhkan waktu yang sangat banyak saat berpikir hal apa saja
yang akan saya uraikan kali ini.  Mungkin karena ini menjadi keseharian bagi saya yang sangat
suka mendengarkan suara suara di sekitar saya maupun lagu-lagu. Saking sangat sering
mendengarkan, saya bisa dengan mudahnya mengenali suara beberapa mesin  yang kami miliki di
rumah sejak dibeli sampai hari ini saat saya menyadari telah memakainya berkali-kali. Mungkin
beginilah jika menulis tentang keseharian.   

Dengan sangat baik, pikiran saya mengolah hal apa saja yang akan saya uraikan sambil
mendengar dengan saksama suara mesin cuci. Mulai dari suara mesin bagian penyucian sampai
ke tahap pengeringan sambil memerhatikan pergerakan tombolnya. Semacam sudah ada
pembagian di kepala tentang apa yang akan saya uraikan di tiap paragraf. Saya mencoba menulis
1o paragraf tiap hari dengan seratus jumlah kata tiap paragraf. Ini juga menjadi pekerjaan otak dan
jemari yang ekstra bagi saya, menyederhanakan hal yang besar dan memperbanyak kata untuk
hal yang sederhana lalu digabungkan menjadi sepuluh paragraf utuh. Banyak hal yang saya
temukan dari proses menulis semacam ini.

Saya merasa sangat enak sekali memikirkan hal apa saja yang akan saya uraikan, namun
hal yang tidak saya buat adalah mengetiknya dengan segera di ponsel. Saya membiarkannya,
berharap saya bisa mengingat semuanya dengan secara saksama. Nah, sampai di paragraf ini
saya lupa dengan hal yang telah saya pikirkan dihadapan mesin cuci. Namun saya tidak
kehilangan tema. Dari runutnya proses menemukan hal pokok di tiap paragraf yang akhirnya saya
lupa, saya pun berganti dengan menanyakan ke diri ini “apa yang saya peroleh dari proses
mendenngarkan?”dan “kenapa saya lebih memilih banyak mendengar dari pada berbicara
banyak?” Kadang hal ini terjadi begitu saja.

Ungkapan tentang hal mendengarkan yang paling familiar yakni “manusia diberikan satu
mulut dan dua telinga”. Saya lupa hal itu saya temukan di mana namun yang saya ingat kalau yang
tertulis di tempat lain adalah lebih panjang dari yang saya tulis di atas. Saya pikir, maknanya masih
tetap sama. Karena makna adalah hal yang subyektif bagi manusia, jadi bagi saya makna dari hal
di atas yah kita harus lebih banyak mendengarkan dengan saksama (mendengar berbeda dari
mendengarkan) dari pada berbicara. Mungkin juga lebih ke arah kita harus menghargai sesama
yang sedang berbicara dengan kita dengan memberikan waktu untuuk menyimak yang
dibicarakan.

Menghargai sesama tanpa memandang usia dan status sosial seseorang dengan
mendengarkan. Ini lebih ke pertanyaan yang saya ajukan ke diri saya sendiri berkaitan dengan
“kenapa saya lebih memilih banyak mendengar dari pada berbicara banyak?” Pertama, saya
menyadari arti dari dua telinga dan satu mulut yang dimiliki. Mungkin hal ini memiliki artian yang
filosofis. Saya memang tahu bahwa telinga ada dua dengan fungsinya untuk mendengarkan dan
mulut hanya satu untuk berbicara. Telinga tidak bisa mendengarkan dengan baik, jika mulut/bibir
yang datang dari kepala yang sama sedang banyak bicara. Pastinya kita tidak bisa mendengarkan
dengan baik apa yang dikatakan oleh lawan bicara.

Sangat disayangkan jika saat seseorang berbicara, kita tidak mendengarkannya dengan
saksama. Entah kabar baik atau pun tidak. Entah bagai mana pun itu, saya berpikir mendengarkan
sangat lha diperlukan. Saya pribadi pun berusaha menghargai dengan mendengarkan lawan
bicara baik yang secara langsung maupun lewat perantara media. Satu mulut yang diberikan oleh
Pencipta untuk dipakai untuk berbicara juga untuk makan. Dua telinga yang ada di sebelah kiri
dipakai untuk mendengar, untuk lebih mendengarkan.Tiap anggota tubuh yang telah diberikan
untuk kita masing-masing memiliki fungsi atau tugas. Anggota tubuh yang satu tidak memonopoli
anggota tubuh yang lain, semua anggota tubuh itu memiliki tugas masing-masing.

 Karena semua anggota tubuh diberi tugas masing-masing, makanya tidak ada yang lebih
hebat dari yang lainnya. Anggota tubuh juga saling menghargai. Seianya, sebagai manusia kita
dapat menyadari itu sejak awal. Mungkin tidak semestinya saya menulis semacam nasihat di sini.
Tapi ini berdasarkan pengalaman pribadi, saya menyadari tiap bagian tubuh yang satu atau pun
yang dua masing-masing memiliki simbol. Diam itu emas, apalagi jika diam dilakukan karena kita
sedang mendengarkan. Saya ingat, saat itu menempuh pendidikan sarjana di program studi

pendidikan teologi. Saya pernah mendapat usir, di suruh keluar kelas oleh dosen karena saya 
berbicara saat si dosen sedang menjelaskan materi. 

Kedua, saya menghargai lawan bicara. Sebelum kita berpikir tentang apa yang akan 
menjadi bahan pembicaraan dengan si orang lebih dahulunya kita bersikap menghargai dia. Sekali 
lagi, ini bukan tulisan atau tutorial mendengarkan orang atau menghargai orang lain. Ini murni 
pengalaman pribadi saat bertemu dengan orang, mungkin saya juga sering memperlakukan kamu 
dengan begini. Tiap bertemu orang dan akan tahu dia akan bicara seperti curhat atau bertanya yah 
saya telah ada alam posisi siap mendengarkan. Mulut saya katupkan, sambi tersenyum dan telinga 
saya sendengkan demi menunggu kalimat-kalimat terlontar dari bibirnya. Saya percaya, saat ada 
orang yang berbicara sesungguhnya ia membutuhkan didengarkan.  

Ketiga, saya menghargai tiap kesempatan bicara. Saya selalu membayangkan kesempatan 
saya mendengar dia dan dia melihat saya sedang mendengarkan dia adalah kesempatan terakhir. 
Sehingga apa pun yang ia bicarakan, akan saya usahakan untuk tetap melihat dan mendengarkan 
dia. Jika ada yang mengenal saya dengan baik dan sering berbicara sama saya, pasti akan hafal 
bahwa saat kita sedang berbicara, saya akan melepaskan segala aktivitas dan duduk dengan 
tenang mendengarkan. Saya selalu takut jika itu adalah kesempatan terakhir yang saya  miliki. 
Saat mendengarkan Bapa dan Mama bicara di rumah, saya akan mendengarkan dengan baik. 
Walau pun beberapa kali mendengar tapi tidak mendengarkan.  

Saya mengakhiri tulisan ini saat malam, walau telah memikirkan dan mulai menulisnya saat 
siang tadi. Saya ingat, tadi kepikiran akan menulis tentang ini saat mencuci pakaian menggunakan 
mesin cuci. Usia mesin cuci hampir setahun, ia bekerja tiap Minggu dan digunakan sesuai standar 
yang telah ditetapkan. Seperti mengecek benda benda kecil seperti logam, jarum dan peniti yang 
ada di pakaian. Selalu saya buat hal demikian. Tadi saya menyadari ada beberapa perbedaan 
bunyi, saya mengingat suara mesin cuci saat pertama kali saya gunakan, nol kilo. Yah, semoga 
mesin cuci tetap baik-baik saja karena ia pun berguna. Begitu juga pemiliknya ini. 

Salam hangat,

Cici Ndiwa

Sabtu, 01 Februari 2020

Perjalanan Bingkisan


    Boneka kura-kura. Saya tidak mencatat dengan baik perihal menit, tanggal, bulan dan
tahun si boneka Kura-Kura itu ada di Ruteng.  Namun saya mengingat dengan sangat baik perihal
pengirimnya. Hal lain yang masih saya ingat dengan baik adalah saat  saya ditelepon pagi-pagi
oleh si pengirim bahwa ia akan mengirimkan sesuatu untuk saya dan bingkisan itu sedang dalam
perjalanan menuju Ruteng. Dititipkan lewat seorang kaka, yang adalah sahabat saya. Ia
mengingatkan agar saya harus berterima kasih kepada si kaka yang telah membawa bingkisan itu
lintas kabupaten menuju saya. Ia juga menginginkan saya untuk segera mengambilnya, ketika si
kaka telah sampai di Ruteng.

     Saya menelpon si kaka, saat tahu bingkisan itu dititipkan lewat beliau. Saya ingat, dari nada
suaranya bahwa si kaka sedang senang seakan mendukung sesuatu yang bernama relasi
pertemanan. Masih bergema nada suaranya saat saya mengetikan ini di sini. Ia bilang ke saya
“kita akan cerita di Ruteng, Ci” dan dua hal yang saya tunggu di Ruteng pada saat itu. Pertama,
bingkisan dari si dia. Kedua, cerita dari si kaka. Saya menunggu dengan sangat tenang di Ruteng,
tidak begitu menggebu-gebu, cuman senyum dan merasa hari itu sangat indah. Saya melangkah
ke kampus dengan rute terjauh dan tidak mengeluh kelelahan pagi itu. 

     Yah, perjalanan menuju kampus. Sedikit demi sedikit saya kembali mengingat hal itu, yah
momen itu. Bingkisan itu saya dapatkan saat  saya kuliah tingkat akhir. Walau saat menulis ini,
saya lebih banyak berhenti untuk membayangkan momen itu sambil memilah dan memilih hal yang
ingin saya tulis dengan kalimat paling sederhana yang saya miliki.  Memang tulisan ini akan
menjadi sebentuk kotak pandora dan rumah tempat hal-hal yang lalu mendapatkan tempatnya.
Saya memang bukan penganut teori masa lalu, entah bagaimana teori itu berbunyi. Tapi jika
menulis tentang masa lalu, pokoknya sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, saya akan
mengingat hal yang baik - baik saja.

     Saya melangkah ke kampus dengan berjalan kaki diliputi perasaan yang senang tanpa
menggebu. Sepanjang perjalanan, saya menyapa orang-orang yang saya kenal. Menanyakan
beberapa hal yang memang hal itu bisa dikelompokkan menjadi semacam atau sebentuk basa-
basi. Hal yang jarang saya lakukan sebelumnya, sampai ada seorang teman yang heran melihat
saya begitu ramah dan menjadi orang yang bertanya duluan ke orang. Biasanya saya hanya
sebatas tersenyum saja sampai mereka berlalu atau sebatas menjawab pertanyaan mereka tanpa
menanyakan balik. Soal menjadi ramah dengan banyak tanya, memang harus banyak belajar.
Beruntungnya, saya telah berhasil seperti itu tanpa mengganggu dengan pertanyaan yang sensitif
ke orang.

     Saya nikmati tiap langkah kaki  sambil berharap si kaka telah lebih dahulu sampai di
kampus. Sehingga saya tidak terlalu lama menunggu dengan banyak tanya. Bisa jadi saya akan
cemas dengan segala tanya di kepala. Dalam perjalanan, saya berpikir hal paling buruk yang akan
saya dengar dari si kaka. Misalnya, bingkisan itu ketinggalan di kota M atau tertinggal di bus. Saat
itu saya mulai cemas dengan pikiran seperti itu, untungnya si kaka mengabarkan kalau ia telah ada
di kampus dan bingkisan itu ada bersama dia. Ia meminta saya untuk menemuinya, yah kan
begitulah seharusnya. Saya pun menemuinya. Perjalanan bertemu dengan bingkisan.

     Sungguh hal yang indah. Saat itu saya merasa, sungguh-sungguh semesta mengijinkan
saya untuk bersenang-senang. Bingkisan itu datang bertepatan dengan saya mendapat kabar
bahwa saya menjuarai sebuah perlombaan penulisan artikel. Dosen saya yang adalah seorang
imam SVD  memberitahukan itu saat kami berada di ruangan kuliah. Saya duduk dengan sopan
sambil senyum dengan wajah malu-malu kucing mendengar tiap pujian dosen dan teman-teman.
Beberapa jam kemudian, hadiah juara perlombaan penulisan artikel itu telah masuk ke rekening
pribadi saya. Saya membagi uang itu ke dalam beberapa pos. Pos terakhir saya pakai untuk
bersenang-senang dengan teman kuliah.  Kami makan gorengan dan minum teh di kantin.

     Saat menulis ini, saya merasakan perasaan yang dulu saya rasakan datang menghampiri
saya. Menemani saya menulis dan sebenarnya saya menulis tentang itu. Jika perasaan itu dapat
dicicil, saya ingin selalu menyicilnya. Biar nanti di masa depan atau dikemudian hari saya pun turut
merasakan apa yang saya rasakan saat menulis ini. Saya merasakan perjalanan mengambil
bingkisan itu memang sangat dekat, kami telah ada di satu kampus. Namun kisah dan
pengandaian tentang bingkisan itu dan perasaan senang tentang juara dan perasaan senang
karena bisa mentraktir teman sekelas yang membuat perjalanan ini terasa jauh. Saya mulai
penasaran dengan apa isi dalam bingkisan itu. 

     Memang penasaran selalu memiliki jalannya, walau kadang tanpa tujuan. Saya mendapat 
jawaban yang diiringin perasaan paling mendebarkan. Pertama, untuk cerita tentang wajah si 
teman saat memberikan bingkisan itu ke si kaka dan cerita tentang bagaimana si teman 
mencarikan isi dalam bingkisan itu untuk saya. Saya dengar dengan perasaan yang sulit saya 
uraikan di tulisan ini. (Saat menulis ini, saya lebih banyak tersenyum) Pokoknya pasti semua akan 
merasakan perasaan itu jika ada di posisi saya, atau bisa jadi akan mengalami hal yang seperti 
saya. Kecuali jika tidak memiliki perasaan, maka perasaan seperti yang saya alami itu tidak 
mempan di hati kamu. 

     Kedua, isi dalam bingkisan itu. Sebelum saya mendeskripsikan tentang itu. Untuk kamu 
ingat  (jika kamu membaca ini); saya masih menyimpan semua dengan sangat baik. Bahkan jika 
harus menuliskannya dengan sangat rinci, saya bisa.  Walau saya yakin itu akan menjadi tulisan 
paling receh karena terus-terus tentang perasaan. Bahwa semuanya lebih dari itu. Makanya saya 
memilih untuk memilahnya, sebelum saya menggabungkanya menjadi kalimat di sini. 
Sebagaimana dengan sangat hati-hati saya membuka kertas kado yang melapisi kardus itu. 
Kardus yang berisikan sesuatu yang buat saya sangat senang, saya pun tidak bisa menjanjikan 
selama apa saya senang. Senang adalah perasaan. Perasaan itu seperti awan. 

      Setelah saya menyelesaikan membuka kertas kado hijau yang melapisi kardus itu, saya 
menemukan sesuatu. Sebuah tulisan yang selalu saya kenang yang bahkan sangat saya hafal. 
Tulisan itu dilembaran paling kecil yang isinya “untuk apa mengingat seseorang yang selalu ada 
dalam ingatan?” Setelah itu kita telepon begitu lama, membicarakan semuanya. Kita tidak 
memastikan “kita akan” tapi “kita doakan untuk jalan terbaik dalam hidup”.  Sepanjang telepon 
denganmu hari itu, sampai saat saya menuliskan ini di sini: yang menamni saya adalah boneka 
kura-kura hijau yang imut dan lucu yang kita namai LUY. LUY sehat, mata kirinya terlepas, 
pertama kali ia harum minyak zaitun.    
  
 Ruteng, 1 Februari 2020.

If life becomes too easy, you will not learn

If life becomes too easy, you will not learn.
Judul berbahasa Inggris, bukan berarti penjabaran atau tulisan ini akan pakai bahasa
Inggris yah. Pokoknya untuk hal itu, saya masih banyak belajar. Mungkin judulnya terkesan ala-ala,
tapi sungguh saya suka dan bermakna. Semacam mantra dalam hidup. “if life becomes too easy,
you will not learn”  (Jika hidup menjadi terlalu mudah, Anda tidak akan belajar). Saya sungguh
meyakini ini, jadi tiap kali saya tidak mendapatkan sesuatu yang saya inginkan ungkapan itu telah
jadi semacam mantra khusus untuk saya. 

Saya sering terinspirasi oleh banyak hal, pokoknya kalau orang-orang terdekat (pernah ada
dalam hidup) pasti tahu tentang itu. Saya termasuk pribadi yang apa-apa akan saya coba, lamar
kerja kemana-mana sampai lembaran  transkrip nilai yang telah dilegalisir hampir habis begitu juga
dengan ijazah. Termasuk juga saat melamar beasiswa, selain urus berkas; saya juga latihan
bahasa Inggris sampai uang hampir habis (ekonomis sekali kan saya?) trus sampai oran-orang
yang saya tanyai lelah menjawab begitu banyak pertanyaan saya tentang beasiswa study
magister. Saya merasa terlahir dengan “semangat mencari” yang sangat berlimpah dalam darah.
Saya tidak bisa berhenti pada satu hal, akan sangat cepat bosan. Jadi, saya juga punya insting 
dan semangat berburu walau banyak gagal, saya tak pernah lelah mencoba. Namun untuk urusan
satu, saat saya memilih satu orang untuk hidup saya, yah akan satu dan seumur hidup saya tulusi
perasaan itu.

Mungkin tulisan ini begitu berapi-api dan begitu bersemangat, yah memang saat mengetik
ini saya sedang dihinggapi rasa semangat yang luar biasa untuk belajar. Semoga bisa ditularkan
kepada sahabat sahabat yang menyempatkan diri untuk membaca ini. Semoga juga, jika kemudia
hari saya kurang bersemangat saya akan kembali mendapatkan energi dari tulisan ini.

Tulisan ini hanyalah sebuah refleksi hidup harian  yang tentu saja tidak begitu mendalam
dan sangat subyektif.  Ada saat saya merasa hidup ini sangat baik sama saya, terkadang juga
saya merasa beruntung. Saya sadar, bahwa ini sungguh manusiawi. Saya hidup berdampingan
dengan yang lain,lalu suka membandingkan apa yang saya miliki dan apa yang mereka miliki. Di
situ muncullah kecembruan saya, saya berpikir bahwa orang yang disekitar saya juga mengalami
hal yang demikian. Hal begitu seringkali saya rasakan, yang beruntung pada tahun ini saya tidak
begitu suka membandingkan saya dengan yang lain. Mungkin usia dan banyak belajar bisa
mematangkan sisi emosional manusia, khususnya saya. Sampai saya berpikir bahwa, yah sudah
sebeginilah saya.

Ungkapan itu bukanlah ungkapan keputusasaan. Ungkapan itu bentuk penerimaan diri.
Sekali lagi ini hanyalah refleksi yang sangat subyektif tentang bagaimana saya melihat hidup.
Karena tiap akhir hari menjelang tidur, hidup tidak pernah berhenti. Akan banyak perenungan
tentang hidup, hari ini, esok dan hari-hari di mana saya akan rajin mengisahkan bagaimana saya
melalui hari ini.

Harapan

 Tentang perjumpaan dan perjalanan yang ingin saya maknai dan tidak semua hal harus
dimaknai.  Saya pun memilih kalimat dan pemikiran yang tepat untuk menjadikannya sebuah
tulisan di sini. Selain demi kenyamanan isak tangis saudara-saudari, ini juga demi privasi.  Saya
tidak ingin menumpahkan  hal yang dikemudian hari saya sesali. semuanya di sini. Sangat indah
jika punya privasi, sungguh.

Nah, kalau semua hal dengan mudah bisa didapatkan, pasti hidup tak menarik lagi.
Kembali ke tulisan ini. Setelah kemarin saya membicarakan cita-cita, kali ini saya ingin
mengisahkan tentang perjalanan saya menempuh cita-cita. Maafkan jika terlalu banyak basa-
basinya sedari tadi.

Ini murni kejujuran hati seorang gadis sederhana yang sedang belajar memaknai tiap hal,
termasuk tiap gagal yang ia tempuh. Gadis itu adalah saya. Seorang yang juga sedang belajar
untuk selalu mengasihi semua orang tanpa mengharapkan balasan, mengasihi dengan tulus.
Seorang yang juga sedang perbanyak perbuatanbaik dengan orang, karena percaya apa yang
ditabur adalah yang dituai. Ini bukan promosi diri, saudara-saudari. Bahkan saat ia  menulis
tentang sejumlah kegagalannya dalam banyak hal, hidupnya telah cukup menerima itu sebagai
pelajaran.

Saya telah mengikuti test tertulis untuk menjadi panitia pemilihan kecamatan dalam rangka
pemilihan bupati dan wakil bupati di kabupaten Manggarai. Sangat banyak peserta yang mengikuti
test, presentasi laki-laki lebih banyak dari perempuan. Untuk posisi ini, akan mempertimbangkan
30% keikutsertaan perempuan. Dalam hati saya berharap, semoga saya dan kedua teman 
perempuan saya dapat lolos test kali ini. Tentu saja ini adalah harapan. 

Memang tidak semuanya akan lolos, kita tidak tahu sampai pengumuman kelulusan 
diumumkan. Sebelum itu tidak salahnya jika kita berharap ada nama kita di papan pengumuman. 
Karena jka nanti pengumumannya telah keluar, kita tidak bisa berharap lagi agar ada nama kita 
kan? Semoga dapat dimengerti apa yang saya maksudkan dengan tulisan ini. Saya dan kamu 
punya harapan tentang apa saja, itulah yang membuat waktu sangat indah dijalani, 

Sebelum memulai mengerjakan soal, saya melihat begitu banyak wajah yang saya kenali. 
Namun itu tidak membuyarkan konsentrasi saya saat mengerjakan test tertulis itu. Saya ingat, saat 
diberi kesempatan untuk berdoa saya dengan tulus minta ke Tuhan (saya akan tulis bagaimana 
posisi Tuhan dalam hidup saya), dengan sangat niat saya pinta semoga saya dimampukan dalam 
mengerjakan soal kali ini. Semoga saya tetap tenang jika menemukan soal yang tidak saya 
temukan jawabannya, saya tetap meminta Tuhan untuk membantu saya mengerjakan itu. 

Sebagai seorang yang kadang punya perasaan sangat tipis, seperti akan sedih sesedihnya. 
Saya juga pinta ke Sahabat Sejati saya untuk membantu saya mnegolah emosi dan perasaan. Jika 
lolos maka saya akan menjalankan tugas dengan baik dan akan tetap rendah hati, jika tidak maka 
saya percaya ada pekerjaan lain yang sedang disiapkan untuk saya dan saya tidak akan menjadi 
rendah diri. Kalau semua hal dengan mudah bisa didapatkan, pasti hidup tak menarik lagi. 

Menghitung Kegagalan 

Di akhir hari saya sangat suka menghitung jumlah kegagalan yang mampu saya ingat, di 
samping saya juga menhitung jumlah berkat yang saya terima. Saya membayangkan, tiap manusia 
memiliki porsi gagal dalam hidup, jadi tiap sekali gagal menghampiri Sampai di sini saya 
kebingungan menentukan arah tulisan ini. Bukankah tanpa arah itu menyenangkan? Kita bisa 
tersesat bersama-sama. 

Saya akan menutup tulisan malam ini dengan sebuah permenungan yang menjadi 
kekuatan, setidaknya esok pagi bisa bangun tanpa kehilangan makna dan kesenangan hidup, ini 
saya kutip dari salah satu twit teman “When life becomes more challenging trust men you ll get the 
best lesson ever” (Ketika hidup menjadi lebih menantang, percayalah Anda akan mendapatkan 
pelajaran terbaik:  CN 


Setahun Berdua

                                                  " Selamat merayakan setahun berdua dalam relasi pacaran ini, *ian dan Cici.      Tida...