Selasa, 28 Januari 2020

Sahabat Saya, Dedi

Sahabat Saya, Dedi
Kami hanya memiliki dua foto bersama.

Akhir Juli 2013, pertama kali bertemu dengan Dedi saat pendaftaran untuk kuliah. Saat itu
kami sama-sama telah selesai mengikuti test gelombang ketiga untuk masuk di Program Studi
Pendidikan Teologi saat itu masih Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Santu Paulus
Ruteng dan kini telah menjadi Universitas katolik Indonesia (UNIKA)  Santu Paulus Ruteng.

Saat itu kami akan melakukan pendaftaran ulang, Dedi duduk di depan pintu ruangan ketua
sekolah dan saya sedang duduk di bangku sebelahnya. Hari itu kami tidak saling bicara, karena
kami adalah orang asing yang memiliki niat yang sama untuk kuliah Teologi. Saya ingat, Dedi
memakai baju kemeja kotak-kotak berwarna biru ditambah abu-abu. Baju yang kemudian menjadi
andalan dia saat kami telah aktif berkuliah, juga ia memakai sneakers berwarna abu-abu yang
kemudian sepatu yang sama menemani langkah kami di kampus. Pernah juga ia pinjami ke saya
saat sepatu saya rusak. Sangat berharga kan dalam hidup saya? Malam ini saya menulis tentang
kita, walau tidak mewakili semuanya. 

Tidak ingin menulis yang sedih-sedih. Terlalu banyak hal indah dengan penuh perjuangan
sampai hari ini. Kami memulai dengan menjadi orang asing sampai menjadi sahabat baik dengan
beberapa impian yang sama dan saling memotivasi.

Mengawali kuliah, kami harus melalui masa orientasi di kampus. Kami dikelompokkan per
program studi. Kami berjumlah sedikit saja jika dibandingkan dengan mahasiswa/i di program studi
yang lain. Namun kami selalu diutamakan dalam hal apapun, selain jumlah kami yang sedikit
program studi kami juga merupakan program studi yang tertua.

Dengan jumlah mahasiswa yang sedikit, kami pun dapat saling mengenal dan mengingat
nama dengan sangat cepat. Saat hari kedua di masa orientasi tersebut, tak ada lagi panggilan
“enu” “nana” atau “kaka” saja, kami telah mulai dengan saling menyebut nama. Sesuatu yang
membuat kami bisa akrab dan merasa dihargai. Dari situlah saya belajar, untuk membuat seorang
kawan baru bahagia cukup panggil dia dengan namanya. Hal itulah yang jarang saya dengar dari
kelompok lain yang memiliki jumlah mahasiswa/i yang banyak.

Hal yang paling saya ingat di masa oerientasi itu adalah saat Dedi minta ijin ke panitia
untuk pulang lebih cepat karena sepatunya rusak. Ekspresi wajahnya yang sedih diiringi dengan
pandangan matanya ke arah sepatu yang sedang tertawa dengen lebar dan kami yang juga ikutan
tertawa. Selama delapan semester perkuliahan, itu menjadi lelucon kami di ruangan perkuliahan.

Singkat cerita, ia memanggil saya TA. TA itu akronim dari teman akrab. Lalu saat
memasuki tahun ini, saya ingat lagi kalau sejak 2013 sampai tahun ini saya hanya punya satu
sahabat laki-laki yang sudah seperti saudara sendiri bagi saya. Yah, saudara tidak seharus
sedarah. Tapi sama-sama  menjaga dan menghargai tiap relasi.

Tentang relasi-relasi kami. 

Walau kami kemana-mana selalu sama-sama sebagai sahabat, kami tidak membatasi
relasi-relasi yang lain dengan orang lain. Dedi mempunyai lingkungan pergaulan yang lain, begitu
juga saya. Pernah sisi egois saya muncul, saya minta untuk selalu ditemani kemana-mana saat
kuliah. Pokoknya harus sama dia, kalau bukan berdua yang dengan teman yang lain dan tetap dia
harus ikut. Setelah lama berselang, saya menyadari bahwa itu tidak baik untuk relasi pertemanan
kami. Bahwa sebagai teman, waktu saya tidak hanya dihabiskan untuk dia, begitu juga waktunya
dia tidak hanya dihabiskan untuk saya. Entah dalam urusan kuliah atau urusan lain.

Tiap kali seseorang di antara kami menjalin relasi dengan lawan jenis, kami akan saling
tahu untuk menempatkan diri dan saling menafsirkan akan berapa lama relasi itu berlangsung. Di
bagian ini kami sama-sama garing. Relasi kami semacam rumah, kalau relasi dengan yang lain
bermasalah kami akan pulang ke rumah dan membahas hal-hal yang lucu sambil saling
mengingatkan “tenang saja, kita ni masih kuliah” dan itu sungguh ampuh selama kuliah. Sering
juga saling mengingatkan tentang kerja kerasnya orang tua untuk kuliahkan kami sehingga kami
sama sama berencana untuk tepat waktu dalam kuliah.

Parfum yang namanya saya lupa, tapi wanginya saya kenang

Kami pernah memiliki parfum andalan, hanya sehari saja kami pakai langsung menjadi
bahan pembicaraan kaka tingkat. Mau tahu kenapa? Saat itu siang yang terik dan kami sedang
kuliah bersama kaka kelas dan teman seangkatan. Kondisi kelas sangat penuh, saya dan Dedi
memilih duduk di bagian belakang dekat jendela. Saat pertengahan kuliah, saya mengeluarkan 
parfum dari tas dan menunjukannya ke arah Dedi sambil tertawa (kami belajar mengerti kontak 
mata), kami  menyemprotkan parfum itu secara bergantian. Sontak saja semua berbalik ke arah 
kami, aroma parfum tersebar ke segala penjuru ruangan kuliah. Hampir saja kami kena usir dari 
ruangan perkuliahan jika saja kami tidak bisa menjelaskan semua yang telah dijelaskan oleh dosen 
secara terperinci. 

Saat awal tahun ini dan si sahabat saya itu ke rumah, wangi parfum kami sama. Ini tentu 
saja membuat kami saling rindu dengan kekonyolan selama kuliah. Bahwa kami tidak berubah, 
kami hanya memiliki peran masing-masing dalam menjalani hidup. Walau kami tidak berubah, 
kami bukanlah orang yang sama. Sebagai laki-laki dan perempuan, kepribadian kami tidaklah 
sama. Namun kami bersyukur bisa berteman, bisa lebih belajar untuk menghayati relasi yang ada 
dalam hidup. Sekecil dan selama apapun relasi itu.
 
Kue Kacang antara dua kantin 

Sebagai seorang yang sangat sering terlambat bangun pagi saat kuliah, karena baru bisa 
tertidur  saat ayam mulai berokok, seringkali saya melewati sarapan pagi di rumah. Sehingga saya 
sangat cepat merasa. Seringkali minta ijin untuk ke luar dan ke kantin secepat mungkin, sering 
juga menunggu sampai jam selesai perkuliahan. Bayangkan saja jika kuliahnya 3 SKS. 

Dedi selalu menjadi teman yang bisa diajak bergerak cepat untuk mengobati kelaparan. 
Jika bapak dan ibu dosen membaca ini, kami sungguh memohon maaf. Walau punya banyak 
alasan untuk keluar dari ruangan perkuliahan demi ke kantin sama-sama, kami masih tetap 
menjadi yang rajin di kelas. Yah, logika butuh logistik. Dulu kami suka membenar-benarkan hal-hal 
yang kami buat, terkadang juga hanya sampai mencari benang merah. 

Yah, tentang benang merah ini saya dengan sahabat saya sama-sama menyukai kue 
kacang dan teh manis. Ada dua kantin di dekat kampus yang menjual kue kacang. Dedi menyukai 
kue kacang yang berbentuk pipih dan saya menyukai kue kacang yang berbentuk bulat. Jadi tiap 
hendak makan kue kacang, kami lebih dahulu ke kantin yanng menjual kue kacang berbentuk pipih 
lalu duduk menghabiskan kue kacang di kantin yang menjual kue kacang berbentuk bulat ditemani 
teh hangat. Teh manis hangat adalah minuman penyatu kami saat kuliah karena harganya yang 
lumayan murah dengan gelas yang besar. Terkadang minta air putih hangat karena gratis. Pernah 
seperti itu dan diiringin muka jutek si pelayan.  

Perpustakaan: lantai satu atau dua? 

Tiap kali ada tugas, kami seringkali menyelesaikannya di perpustakaan kampus. Buku-
bukunya sangat memadai untuk program studi kami. Segala tugas selalu memiliki beberapa buku 
referensi, sehingga kami merasa sangat diperkaya. Baik dalam tugas kelompok maupun tugas 
individu. Selesai mengerjakan tugas perkuliahan, seringkali saya mengunjungi lantai dua untuk 
mebcari buku fiksi dan membacanya di lantai dua.
 
Si sahabat saya sangat suka membaca koran yang ada di lantai satu. Tiap ada hal-hal 
baru, kami sangat suka membicaraka itu. Kadang mendiskusikannya dan lebih sering memuji si 
penulis sambil berkhayal kami bisa seperti itu. Pernah tulisan saya muncul di koran, kami sama-
sama bahagia karena tulisan itu bisa kami berikan di pihak kampus dan mendapat penghargaan 
berupa sedikit uang. Kami bisa jajan beberapa kali, makan makananan yang kami suka dan saling 
semangati untuk selalu semangat menulis. 

Di perpustakaan kampus saya pernah bilang ke dia “saya mau belajar menulis dan punya 
buku yang isinya puisi”, sahabat saya mengangguk tanda setuju. Sampai saat tahun di mana ia 
dengar saya launching buku puisi Penyair bukan Kami dan ia percaya saya sangat bisa untuk 
impian yang lain. Kami saling mendoakan untuk impian dan cita-cita hidup. 

Masa skripsi sampai duduk berdampingan saat wisuda 

Sebagai sahabat yang masuk kuliah di tahun yang sama tanpa menunggak mata kuliah, 
kami ada di tahun yang sama saat mengerjakan skripsi. Sahabat saya menulis tentang Budaya 
Manggarai dan saya pun menulis tentang Kitab Ayub, itu juga setelah melalui pergumulan yang 
panjang. Sampai saat ini, ia sedang menekuni tulisan dan akan melakukan penelitian tentang 
budaya. (Saya tetap doakan, tem) 

Kami pernah sama-sama kehabisan akal namun tidak putus asa saat ada di masa-masa 
bimbingan tugas akhir. Tulisan kami berdua sama-sama ditolak dengan banyak perbaikan, kami 
merasa telah menyelesaikannya dengan sangat baik.  Kami mengolahnya dari berbagai bahan 
bacaan dan melakukan penelitian. Tetap saja kami mahasiswa/i bukan dosen. Kami saling 
mengeluh di kantin Aloysius. 

Saya rasa, semua teman juga merasakan hal yang sama. Ada saat excited dan ada 
kalanya jenuh. Ada saat tidak ingin diganggu, memutuskan semua jenis komunikasi sampai tiba-
tiba muncul sambil tersenyum  lebar dari ruangan dosen saat dijijnkan untuk ujian. Kami sama-
sama pernah ada di saat itu. 

Saat teman-teman kami telah mendaftar ujian dan ada juga yang ujian, kami sedang 
mengalami  masa kritis karena penolakan berkali-kali. Saya dan sahabat sempat tidak saling 
menghubungi demi fokus menulis, tiap mengalami kejenuhan kami bertemu di kantin yang sama 
atau telepon hanya untuk memotivasi. 

Saat itu, kami habis akal namun tidak putus asa. Saling menguatkan dengan menyebut 
perjuangan orang tua memang sungguh menjadi vitamin yang menyemangati kami. Kami ujian di 
minggu yang sama, pada gelombang terakhir ujian. 

Kami saling menunggu di depan ruangan ujian 
lalu metayakannya dengan memakan buah salak. Dia tahu saya menyukai buah salak. 

Kami telah memiliki gelar masing-maisng di belakang nama dengan jalan maha panjang tak 
bertepi di depan. Bahwa kami memulai perjalanan kami. 

Kami duduk berdampingan saat wisuda. Sebelum wisuda, ia menemani saat saya akan test 
kebaya untuk saya pakai di hari kami wisuda. Sesuatu yang sangat sederhana dan itu saling 
berharga dalam hari-hari kami. 

**** 
Ini tahun kedua Dedi menjadi tenaga pengajar di Maumere. Ia mulai betah, tetap 
menghayati ilmu pengetahuan. Tetap menjadi sahabat yang saling memotivasi. 

Tulisan tentang kami mungkin akan mencapai titik, tapi tidak dengan persahabatan ini. 

Masih sangat banyak kenangan dan saya susah merangkainya menjadi tulisan. Mungkin betul, 
kata selalu terbatas. Semoga di sana Dedi tetap sehat dan baik-baik saja, diberikan jalan untuk 
penelitian tentang budaya Manggarai dan untuk apa saja yang diimpikan 

Di sini, saya sangat sehat. Sedang mengikuti sebuah project menulis dan sangat tidak enak 
jika melewatkan kisah persahabatan kita.

Ruteng, 27 Januari 2019. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setahun Berdua

                                                  " Selamat merayakan setahun berdua dalam relasi pacaran ini, *ian dan Cici.      Tida...