“Seseorang berjalan meninggalkan jejak sepatu, diikuti oleh seorang yang mengikuti jejak itu”
Sepasang Sepatu
Ada sepasang sepatu yang diajak bicara oleh pemiliknya. Sepatu itu berwarna orange dan bertali. Orange adalah warna yang disukai oleh pemiliknya saat masih kecil. Dari dua belas warna yang ada di kotak pensil warna, ia selalu mengambil warna orange untuk mewarnai atap rumah, matahari dan lautan. Bukannya ia tidak tahu warna yang sebenarnya pada atap rumah dan lautan, tapi warna itulah yang paling menarik baginya maka ia memilih warna itu tanpa
berpikir apa yang dikatakan oleh guru dan orang tuanya saat melihat gambar tersebut. Indah sekali, kan? Memilih sesuatu karena keinginan sendiri bukan demi prasangka baik orang. Kembali ke warna orange yang ia sukai, ia mewarnai matahari dengan warna orange setelah menggambarnya dengan bulat dan diberi senyum. Entah saat itu
idenya datang darimana, tapi ia menikmati itu sebagai yang indah. Jika dibayangkan, matahari orange sangatlah terik untuk ukuran hangat yang harus manusia dapatkan. Bahkan tumbuhan bisa layu jika sehari saja matahari sangat terik,
yah matahari orange.
Saat mewarnai matahari dengan begitu orange, ia nikmati perasaan senang tanpa memikirkan
keadaan apa yang akan ditimbulkan jika gambarnya sungguh-sungguh dipakai Sang Pencipta untuk menghiasi alam semesta.
Ia juga menyukai laut, ia menggambar laut dan memberinya warna orange. Tentu saja ia pernah melihat laut, dan ia mewarni laut digambarnya dengan warna yang ia sukai. Betapa menyenangkan menjadi apa saja yang kita
inginkan, begitulah versi dewasanya memikirkan itu.
Karena sering menggunakan pensil berwarna orange, maka pensil itu ia raut terus menerus sampai ia tak lagi bisa memakainya untuk mewarnai. Ia tak sedih, karena ia tahu akan ada yang memberikannya lagi tanpa banyak usaha.
Si pemilik sepatu mengenang itu dengan baik. Ia bisa mendapatkan pensil warna tanpa harus bekerja mencari uang sendiri untuk membeli itu, ia cukup merengek manja maka kebutuhannya akan diprioritaskan. Tidak begitu dengan sepatu yang saat ini ia kenakan, jika ia menginginkan sepatu maka ia harus menyisihkan uang hasil kerja untuk
membelinya.
Begitulah sampai sepatu itu ia kenakan di kakinya. Ia ingat saat mengetest sepatu itu di tempat jualan dan menawar harganya hingga pas dengan dana yang ia punya untuk membeli sepatu itu. Saat masih kecil, ia tinggal menyorong kaki kanannya untuk mengetest sepatu dan ibunya akan membayarkan itu untuknya. Yang ia tahu, ia
memakai sepatu itu tanpa bersusah menawar harganya.
Si pemilik melihat sepatunya dan bertanya “apa kamu baik-baik saja?” sepasang sepatu itu tidak menjawabnya. Namun pemiliknya membayangkan jika sepatu itu bisa berbicara kepadanya “Setelah kamu mengenakanku berhari-hari, aku tetap baik-baik saja” sang pemilik mengelus sepatunya dengan lembut sambil membersihkan pasir yang
menempel di sepatunya.
Ia tahu, sepatu orange menyimpan begitu banyak cerita. Sepatu orangenya tahu segala harapan dan
impiannya. Sepatu orange mendekap kakinya dengan hangat seakan setuju dengan apa yang ada di benak pemiliknya “menjadi perempuan harus jauh lebih kuat untuk mewujudkan impian”, maka pemiliknya tahu bahwa untuk impian ia
harus tetap teguh dan kuat dalam memperjuangkan.
Entah pada tahun berapa pun itu, ia berjanji pada sepatu orange untuk turut membawanya kemana saja. Satu impiannya yang tak akan pernah padam yakni menempuh pendidikan di satu negara impian. Ia berjanji, jika sampai tahun itu datang dan hari itu tiba ia akan mengenakan sepatu orange di negara itu dan ke kampus yang ia impikan.
Salam hangat,
Cici
Tidak ada komentar:
Posting Komentar