Dalam kerja sama antara Taman Baca Colol dan Sunrise Camp Indonesia (SCI),
saya berkesempatan menjadi volunteer (kegiatan yang telah berlangsung dan akan
berlangsung). Saat menuliskan ini di sini, saya telah dua kali menghadiri kegiatan (sebagai
volunteer) di kelas Inspirasi yang bertempat di Colol, Manggarai Timur.
Awal tergabung menjadi volunteer ini sebenarnya karena ketertarikan saya dengan
literasi dan melayani sesama. Mungkin yang kedua ini terlalu mulia atau bahkan terdengar
sangat lebay, tapi begitulah yang ada dipikiran saat saya mengapply untuk menjadi
volunteer. Mungkin jalan untuk menjadi guru Agama Katolik belum dibukakan untuk saya,
tapi melayani sesama dengan tulus adalah bagian dari ajaran Agama Katolik. Yah,
setidaknya aura-aura katekis saya masih terjaga dan terus diperbaharui lha dari hari-hari
dengan melayani sesama.
Saya melayani anak-anak yang ada dalam lingkungan Taman Baca Colol, tentu
saja karena keinginan saya diterima oleh teman-teman dari Sunrise Camp Indonesia.
jadilah kami bertemu pada awal bulan Januari di hari Minggu.
Semua volunteer dipertemukan hari itu, pihak SCI menjelaskan garis besar project
tiap bulannya dan pembagian jadwal untuk ke Taman Baca di tiap hari Sabtu dan Minggu.
Sungguh kesempatan yang bagus kan? Bisa weekend sambil melayani anak-anak di Colol
dengan tujuan utama menebar aroma dan aura literasi kepada setiap insan. Garis besar
untuk kunjungan di bulan Januari yakni kelas inspirasi. Yang bagaimana kelas inspirasi
itu?
Kami saling berkenalan dengan sesama volunteer dan pihak SCI, sebelum kami
membawakan kelas inspirasi ke adik-adik kami teleh terlebih dahulu merasa terinspirasi
oleh niat-niat baik sesama volunteer yang datang dari berbagai disiplin ilmu dan pekerjaan.
Tentu saja sesama kami saling diperkaya. Sungguh percaya bahwa kita akan
dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki visi yang sama dengan kita.
Dalam proyek ini, saya berkesempatan untuk banyak berinteraksi dengan para
remaja SD kelas 6 dan SMP. Saya menyebutnya adik-adik, begitu juga saat menyapa dan
berkenalan dengan mereka. Dalam kelompok ada 20an anak, lebih banyak perempuan
ketimbang pria. Semoga pada pertemuan berikutnya, akan ada lagi adik laki-laki yang
bergabung.
Saat ada di dalam kelompok, pada pertemuan pertama kami membicarakan cita-
cita. Berbicara dengan memberi umpan balik menjadikan kelas penuh semangat dan tetap
saling mendengarkan dengan sepenuh hati. Saya menyukai ekspresi mereka saat
menyaksikan saya berbicara. Ingin rasanya bicara tanpa henti, namun sadar bahwa
mereka lha yang sedang saya latih. Kami sepakat untuk saling bercerita: mengenalkan
nama, sekolah dan bercerita tentang cita-cita masing-masing kami. Saya juga cerita
tentang cita-cita sederhana saya, (janji untuk bagian ini akan saya jadikan tema tulisan
yang lain)
Ternyata tak terlalu susah merebut perhatian adik-adik, tapi cukup bekerja keras
juga untuk memikirkan kalimat yang harus mereka dengar sehingga bisa diolah pikiran
mereka. Mereka perlu disemangati dan diberi penghargaan untuk segala sesuatu walau
sederhana. Seperti: kami akan saling mendengarkan saat yang lain berbicara di dalam
kelompok, memberi tepuk tangan dan sebagai pemandu saya mengingat dengan baik
nama mereka dan cita-cita yang mereka sebutkan. Saya merangkai segalanya dalam
bentuk cerita siang itu. Saya mengandaikan bahwa sepuluh atau lima belas tahun lagi
saya akan kembali ke Colol lalu melihat mereka telah meraih cita-cita yang telah mereka
sebutkan.
Saat membicarakan cita-cita kepada remaja di Manggarai Raya, Colol khususnya
tidak mengherankan kalau banyak cita-cita yang seragam. Setelah kegiatan berlangsung,
memang kami saling sharing dengan sesama volunteer. Memang tidak mengherankan,
cita-cita mereka antara lain menjadi guru, polisi, polwan, dokter, perawat, bidan, pramugari
dan pemain bulu tangkis. Itulah cita-cita mereka, banyak juga yang masih bingung dengan
cita-cita mereka. Dari kelompok kecil saya itu, hanya satu yang bercita-cita sesuai hobi,
misalnya pemain bulu tangkis.
Setelah mereka selesai menyebutkan cita-cita mereka, saya bertanya tentang
alasan memilih itu sebagai cita-cita. Tak mengherankan lagi jika jawabannya hampir
seragam dan sangat umum. Misalnya, ingin menjadi guru karena ingin mengajar para
murid, ingin menjadi dokter, perawat dan bidan karena ingin merawati yang sakit, ingin
menjadi pramugari karena ingin jalan-jalan dan ingin menjadi pemain bulu tangkis karena
suka nonton pemain bulu tangkis di televisi.
Sebagai seorang yang mengurus kelas inspirasi di hari itu, memang ini menjadi
tugas yang berat juga bagi saya. Saya memikirkan banyak sekali hal untuk saya utarakan
ke mereka siang itu. Saya sadar, mereka butuh diarahkan. Namun apalah saya, tapi saya
berusaha sebisa saya siang itu. Saya bilang semua cita-cita itu keren dan kita pasti bisa
meraihnya kalau kita semangat belajar. Kita berhak bercita-cita setinggi mungkin.
Secara pribadi, kenapa saya ingin membicarakan cita-cita?
Selain karena tuntutan project, saya sangat merasa bahwa memiliki cita-cita
sangatlah penting. Kita tahu bahwa hidup kita memiliki arah sehingga bisa memotivasi kita
tiap waktu. Saya mengalami itu sendiri.
Saya bahkan masih memiliki cita-cita dalam hidup walau telah seperempat abad
hidup di dunia ini. Saya masih menginginkan untuk mengambil magister di Australia.
Bahwa hidup tidak cukup hanya satu cita-cita, atau mungkin itu bisa dinamakan
penjabaran dari cita-cita.
Saat ada dalam kelas inspirasi itu, kami bergantian bicara tentang cita-cita. Saya
lebih ke memberi umpan balik dengan membaikan cita-cita saya dan pengalaman saya
meraihnya. Mereka tertawa saat saya bilang “kaka punya cita-cita untuk naik pesawat ke
Kupang pakai uang sendiri, setelah dicita-citakan sejak kecil baru saat Mei 2019 cita-cita
itu terwujud dan kaka masih ingin naik pesawat karena telah lupa bagaimana rasanya naik
pesawat” Cita-cita itu sungguh betul, saudara-saudara...
Semesta akan merestui cita-cita yang dinginkan dengan tulus. Saya bilang ke
mereka juga untuk percaya dengan kemampuan diri. Pokoknya harus beri pesan positif ke
diri, jangan pesimis harus optimis jalani hidup. Seorang anak-anak bercita-cita memiliki
nilai 80 saat ulangan Matematika.
Sebenarnya ada satu hal yang mengganjal dan buat saya tidak enak dengan diri
sendiri saat berbicara tentang cara meraih cita-cita. Saat pertemuan pertama, saya terlalu
semangat saat bilang kita harus sekolah dengan rajin dan belajar dengan giat. Saya
terlambat menyadari bahwa ada seorang gadis yang tidak menempuh pendidikan namun
sangat bersemangat mengikuti kelas saya. Saya akan menuliskannya di lain sesi. Saya
punya tanggung jawab untuk membuatnya percaya dengan kemampuannya, untuk tidak
membuatnya rendah diri karena tidak seperti temannya yang lain.
Cita-cita tidak hanya bisa diraih lewat bangku sekolah, cita-cita bisa diraih lewat
perbuatan-perbuatan baik dalam keseharian. Saya berhutang penjelasan panjang tentang
ini ke Tika, namanya Tika. Saat kembali ke Ruteng, saya teringat saat Tika menggandeng
tangan saya ke arah teman-teman yang lain untuk foto bersama. Saya pun belajar dari
Tika.
Kembali ke cita-cita yang beragam tadi. Semuanya pasti tahu keistimewaan Colol.
Yah, kopinya yang terkenal. Sungguh memasuki Colol membuat saya takjub dengan hijau
sawah, kopi dan jagung. Colol sungguh kaya. Tanah Colol harus dijaga, dijaga oleh semua
generasi. Termasuk generasi yang ada dalam kelompok saya.
Saat sharing dengan teman, kami membicarakan tentang sistemi ijon dan nasib
Manggarai Raya nantinya. Sungguh berat, bukan? Inilah tugas kita yang lahir lebih dulu.
Tugas kita untuk menanamkan rasa cinta yang sama juga kepada generasi yang lain.
Saat membicarakan cita-cita, saya tanya ke mereka “kenapa tidak ada yang bercita-
cita menjadi petani?” Jawabannya cukup beragam dan membuat saya tertegun. Kami pun
sharing tentang pengalaman mereka ada di Colol, seperti hal-hal yang mereka buat tiap
hari. Lalu saya bilang ke mereka, “kalau tidak ada yang jadi petani, nanti kamu, adik-
adikmu dan anak-anakmu tidak bisa petik dan minum kopi, kamu tidak bisa lagi tangkap
Ikan dan Katak di sawah. Kamu tidak punya tempat untuk bermain” Sebenarnya lebih dari
itu yang saya bilang ke mereka. Ini pun menjadi tugas kita semua untuk mengajarkan ke
generasi baru tentang kecintaan dengan tanah kelahiran. Colol dan Manggarai Raya
sangat kaya, kita butuh banyak belajar dan saling membantu.
Sebenarnya tidak mengherankan saat adik-adik mengutarakan cita-citanya yang
cukup seragam, toh mereka ada di lingkungan yang sama. Saya tidak sedang
mengdiskreditkan apa pun, saya juga tidak menyalahkan mimpi polos adik-adik kita.
Mereka bercita-cita berdasarkan hasil pengamatan mereka tiap hari.
Pada akhirnya ini juga menjadi pengingat bagi saya. Saat berhadapan dengan
remaja terlebih saat membicarakan cita-cita tugas saya adalah membuka pikiran mereka
tanpa menakuti dan membanding-bandingkan mereka.
Ruteng, 29 Januari 2020