Ia duduk memandangi tuts keyboard notebook melalui sela-sela jemari yang cat kukunya telah terkelupas.
Memandangi cincin bermata putih yang melingkar manis di jari tangan kanannya.
Juga guratan urat-urat dipunggung tangannya yang sangat nampak.
Ia memulai sebuah hal yang mungkin tidak berguna malam ini.
Menghitung ruas-ruas seluruh jari tangan kiri dan kanan, bekas luka, tahi lalat dan urat-urat yang sangat nampak.
Dihadapannya ada sebuah cermin berukuran kecil.
Ia memandang wajahnya dengan perlahan.
Ada sebuah tahi lalat di bawah bibirnya.
Ia tak begitu mempercayai mitos yang beredar tentang tahi lalat itu.
Sesekali ia banyak bicara, terkadang diam saja dan ia tidak cerewet.
Tahi lalat tidak harus dicari artinya cukup dipandangi saja dan ia tak akan malu.
Ia teringat dengan tahi lalat seseorang dan tidak berani menebak di sisi mana tahi lalat itu berada.
Cukup dengan membayangkan pemilik tahi lalat itu ia merasa tidak egois dalam relasi antar individu.
Cici Ndiwa